Jakarta, ruangenergi.com – Indonesia memiliki potensi biomassa untuk bioenergi mencapai 83,4 juta ton per tahun, namun realisasi pemanfaatannya baru sekitar 22 juta ton. Kesenjangan ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus menekan emisi sektor ketenagalistrikan. PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) kini mempercepat pemanfaatan bioenergi sebagai salah satu pilar transisi energi perusahaan.
Direktur Biomassa PLN EPI, Hokkop Situngkir dalam sesi Asean Energy Transition & Decarbonization pada Biogas, Biomasss & Bioenergy Asia Summit 2025 Indonesia Focus pada Rabu (4/12), menjelaskan bahwa tren pemanfaatan bioenergi berkembang pesat secara global, terutama di Finlandia, Swedia, dan Austria yang sudah menjadikan bioenergi sebagai sumber utama energi terbarukan. Di sisi lain, sementara pemanfaatan di Indonesia masih berada di kisaran 5 persen dari total potensi nasional.
“Ini adalah peluang besar bagi Indonesia. Potensinya ada, tetapi ekosistem supply chain biomassa harus dibangun lebih kuat agar bisa mendukung pembangkit listrik secara berkelanjutan,” ujar Hokkop.
Pemetaan bersama pemerintah menunjukkan bahwa potensi biomassa tersebar di seluruh Indonesia dengan kontribusi terbesar dari wilayah Sumatra. Sumber biomassa dominan berasal dari limbah industri kelapa sawit, kayu, serta pertanian, yang sebagian besar masih belum terserap optimal.
Bioenergi menjadi bagian dari strategi dekarbonisasi PLN sejalan dengan target Net Zero Emissions 2060. Pemerintah melalui enhanced NDC menargetkan pemanfaatan 9 juta ton biomassa pada 2030 untuk mendukung program cofiring, yaitu substitusi sebagian batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap.
PLN EPI mencatat bahwa hingga 30 November 2025 pemanfaatan cofiring telah diterapkan di 49 PLTU, dengan penyediaan biomassa mencapai 2,2 juta ton dan pengurangan emisi sebesar 2,53 juta ton CO₂e. Jenis biomassa yang lolos uji kualitas meningkat menjadi 14 jenis, termasuk limbah sawit, limbah pertanian, dan sampah kota terolah (SRF). Adapun target pemanfaatan biomassa tahun 2025 berada di angka 3 juta ton.
Hokkop menambahkan bahwa PLN EPI memulai program dedieselisasi dan produksi biogas/Bio-CNG dari limbah cair sawit (POME) sebagai alternatif bahan bakar untuk pembangkit gas dan mesin diesel. Inisiatif ini diharapkan mampu menekan biaya operasional, khususnya di wilayah terpencil yang selama ini bergantung pada BBM impor.
“Tantangan kita adalah memastikan pasokan biomassa berkelanjutan. Karena itu, kami melibatkan koperasi, BUMDes, dan sektor swasta dalam pengembangan hub produksi biomassa,” kata Hokkop.
PLN EPI bersama kementerian terkait tengah membangun jaringan hub dan sub-hub di berbagai daerah. Fasilitas tersebut akan menjadi titik pengumpulan bahan baku, produksi pelet biomassa, hingga kontrol kualitas sebelum dikirim ke pembangkit. Model ini juga akan membuka lapangan kerja dan sumber pendapatan baru di desa-desa penghasil biomassa.
Hokkop menegaskan bahwa percepatan pemanfaatan bioenergi tidak hanya berkaitan dengan agenda lingkungan, tetapi merupakan strategi kunci untuk memperkuat kemandirian energi nasional, mengurangi ketergantungan pada impor energi fosil, serta membangun ekonomi hijau berbasis potensi domestik.
“Dengan kolaborasi dan investasi yang tepat, bioenergi bisa menjadi tulang punggung ketahanan energi Indonesia,” tegasnya.
Dalam panel Role of Bioenergy in Energy Transition & Industrial Decarbonization, hadir sejumlah pemimpin industri bioenergi regional seperti Dr. Ichsan Maulana (Chairman Indonesian Biomass Energy Cooperative), Arif Budiono (MP Evans Group plc), Luwy Leunufna (Tunas Sawa Erma Group), Seung Kon Lee (CM Biomass Korea), Dato’ Leong Kin Mun (President Malaysia Biomass Industries Confederation), Santeri Rantala (SOLCOFIN Group) dan dimoderatori oleh Anna Rellama (Principal, Arthur D. Little).











