Batu bara

Pemerintah Siapkan Insentif Untuk Hilirisasi Batubara

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan insentif terkait peningkatan nilai tambah batubara, seperti yang dilakukan oleh beberapa perusahaan.

Dalam sebuah diskusi yang secara online, Direktur Bina Program Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Muhammad Wafid Agung, menjelaskan hilirisasi batubara telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba, khususnya di pasal 102 terkait kewajiban peningkatan nilai tambah minerba.

Selain itu, dalam pasal 169 mengenai kewajiban pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara bagi para pemegang IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) kelanjutan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).

“Hingga saat ini, peningkatan nilai tambah batubara di Indonesia belum sepenuhnya mencapai tahap komersial. Yang sudah komersial baru dua, coal upgrading dan pembuatan briket batubara,” kata Wafid, (19/11)

Menurutnya, berdasarkan UU Minerba, pengembangan batubara terdapat beberapa tahapan.

Pertama, peningkatan mutu batubara (coal upgrading); Kedua, pembuatan briket batubara; Ketiga, pembiatan kokas; Keempat, pencairan batubara (coal liquefaction); Kelima, gasifikasi batubara, termasuk underground coal gasifikasi; Keenam, coal slurry atau coal water mixture. Sedangkan untuk pemanfaatan batubara bisa dilakukan melalui pembangunan sendiri PLTU di mulut tambang.

Selain itu, lanjutnya, perkembangan hilirisasi batubara berdasarkan jenis, potensi perusahaan yang akan mengembangkan, hingga kisaran investasi yang diperlukan untuk setiap proyeknya.

Untuk pengembangan batubara dengan jenis gasifikasi, sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan penjajakan, yakni PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan produk Dimethyl Ether (DME), Methanol dan MEG.

Tak hanya PTBA, penjajakan juga sudah dilakukan oleh empat perusahaan PKP2B generasi pertama yang akan menjadi IUPK, yaitu PT KPC dengan produk methanol; PT Arutmin Indonesia dengan produk SNG yang saat ini sedang tahap finalisasi kajian.

Selanjutnya, PT Adaro Indonesia dengan produk methanol (masih kajian awal), dan PT Berau Coal dengan produk DME/Hydrogen (masih kajian awal). Ia mengatakan, kisaran investasi untuk proyek ini cukup besar yakni sekitar US$ 1,5 miliar – US$ 3 miliar.

Lalu, underground coal gasification (UCG) penjajakan sudah dilakukan oleh tiga perusahaan yaitu PT Kideco Jaya Agung di Kalimantan Timur (pilot plant), PT Indominco di Kalimantan Timur, PT Medco Energi Mining International (MEMI) dan Phoenix Energy Ltd/ di Kalimantan Utara.

Investasi untuk proyek UCG ditaksir 30%-40% lebih rendah dibandingkan gasifikasi dipermukaan. Investasi proyeknya berkisar US$ 600 juta-US$ 800 juta

Kemudian, pembuatan kokas. Proyek ini sudah dijalankan oleh PT Megah Energi Khatulistiwa (MEK) dengan produk semi cokes dan coal tar, dengan nilai investasi mencapai US$ 200 juta – US$ 400 juta,

Selanjutnya, peningkatan mutu batubara (coal upgrading) yang sudah dilakukan oleh PT ZIG Resources Technology. Investasi untuk proyek ini sekitar US$ 80 juta-US$ 170 juta dan sudah komersial.

Pembuatan briket batubara, seperti yang telah dilakukan oleh PBA dan PT Thriveni. Proyek senilai Rp 200 miliar atau sekitar US$ 15 juta ini sudah tahap komersial.

Pencairan batubara (coal liquafaction). Proyek yang diperkirakan sebesar US$ 2 miliar-US$ 4 miliar ini hingga sekarang belum ada perusahaan yang mengusulkan.

Coal slurry atau coal water mixture. Proyek ini diprediksi sekitar US$ 200 juta – US$ 320 juta, akan tetapi hingga saat ini belum ada perusahaan yang mengusulkan.

Prioritas Pemerintah

Wafid mengungkapkan, yang menjadi prioritas pemerintah di dalam produk hilirisasi batubara adalah berupa DME dan metanol. Menurutnya, DME dan methanol dapat mengurangi impor dan mensubstitusi BBM, BBG, dan bahan baku industri kimia dasar.

“Salah satunya adalah LPG yang selama ini diimpor 75%-78%. Cukup memberatkan keuangan negara. Ini diharapkan bisa diatasi dengan DME hasil gasifikasi batubara,” terangnya.

Sementara, untuk kebutuhan metanol di Indonesia yang diperkirakan mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2025, di mana pemerintah telah memprediksi bahwa 1,6 juta ton diperoleh melalui impor.

“Kebutuhan impor ini lah yang kita inginkan diganti dengan hasil hilirisasi batubara,” kata Wafid.

Meski begitu, ungkapnya, ada sejumlah tantangan dalam merealisasikan proyek yaitu investasi yang besar, lalu harga DME yang harus berkompetisi dengan LPG subsidi.

Maka dari itu, saat ini pemerintah sedang menyiapkan sejumlah alternatif kebijakan, salah satunya penyediaan insentif dan opsi untuk memberikan subsidi bagi DME.

Ia mengatakan sedikitnya ada empat skenario penyerapan produk hilirisasi batubara, yang pertama integrasi proyek dengan off taker.

“Sebagai contoh, proyek gasifikasi batubara yang terintegrasi. Juga konversi methanol menjadi DME didekat lokasi pengguna LPG. Misalnya methanol yang diproduksi di Kalimantan dan Sumsel dikonversi menjadi DME didekat lokasi pengguna LPG,” paparnya.

Yang kedua, melalui substitusi impor dalam negeri. Tak hanya DME saja untuk subsitusi LPG, ada juga pemenuhan kebutuhan kokas bagi smelter dan pabrik baja dari pabrik cokes making dalam negeri.

Yang ketiga, melalui program pemerintah mengganti LPG dengan menggunakan briket untuk digunakan oleh UMKM.

Keempat, promosi kepada investor baru untuk mengembangkan cadangan batubara kualitas rendah melalui gasiifkasi atau coal upgrading.

Proyek gasifikasi batubara pun ditargetkan sudah mulai beroperasi pada tahun 2025. Secara umum, Kementerian ESDM sudah menyiapkan proyeksi sebagai gambaran input batubara dan output produk hilirisasi yang bisa dihasilkan hingga tahun 2040.