Saatnya Status PT Badak Sebagai Perusaahan Nir Laba Dicabut

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Di tengah tercurahnya perhatian Pemerintah dan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan lahirnya Kilang-Kilang baru untuk Indonesia, sejumlah pihak mengkhawatirkan luputnya perhatian Pemerintah terhadap keberadaan dan nasib Kilang LNG Badak di Bontang Kalimantan Timur.

Ironisnya, saat ini demand gas dunia sedang menurun dan berpotensi mengancam kelangsungan hidup Kilang LNG Badak. Kilang LNG terbesar di dunia yang mulai dibangun di masa Pemerintahan Orde Baru pada Tahun 1974 itu menghasilkan 22,5 juta metrik ton LNG per tahun.

Sayangnya kilang milik Negara yang pengelolaannya diserahkan kepada PT Badak LNG itu dinyatakan Non Profit Company atau Nir Laba. Padahal kinerja kilang LNG Badak ini tergolong sangat efisien dan telah diakui dunia . paling efisien dengan harga jual US$ 6 per MMBTU di dalam negeri.

Terkait hal ini, Pengamat Kebijakan Energi, Sofyano Zakaria, meminta Pemerintah unruk memikirkan status PT Badak LNG dari non profit company menjadi perusahaan yang mengejar laba agar perusahaan ini bisa dan mampu merawat dan menjaga keberlangsungan kilang LNG tersebut.

“Di tengah turunnya demand gas saat ini, sudah saatnya pemerintah memikirkan status PT Badak LNG dari non profit company menjadi perusahaan yang mengejar laba. Kita dukung pemerintahan Presiden Jokowi untuk membangun kilang BBM baru, tetapi nasib Kilang LNG Badak juga harus dan perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah,” kata Sofyano di Jakarta, Rabu (09/12/2020).

“Utilisasi Kilang LNG Bontang sudah lama jauh dibawah kapasitasnya. Saat ini hanya sekitar 25% karena demand gas turun. Apalagi dengan telah beroperasinya Terminal LNG di Singapore yang lebih efisien ini sangat besar pengaruh nya bagi keberadaan dan keberlangsungan Kilang LNG Badak,“ tambah Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) ini.

Menurut Sofyano, jika hal ini tidak mendapat perhatian serius dari Pemerintah maka kilang LNG Badak ini hanya akan menjadi monumen saja.

“Sudah saatnya keberadaan PT Badak LNG sebagai perusahaan Non Profit Company ditinjau kembali demi keberlagsungan Kilang LNG milik negara ini,” tukasnya.

Pasalnya, lanjut Sofyano, dengan statusnya yang non profit company ini, pasti akan menimbulkan masalah terkait hubungan kerja dengan pekerja dan tenaga kerja outsourcing yang ada di PT Badak LNG yang jumlahnya lebih dari 3000 orang.

“Karena Undang-undang Tenaga Kerja dan Undang-undang Cipta Kerja mensyaratkan pemberian pesangon kepada pekerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja,” kata Sofyano.

“Bagaimana sebuah perusahaan yang non profit bisa membayar pesangon kepada pekerjanya? Bukankah perusahaan non profit tidak mencatat laba dan logikanya tidak memiliki dana buat pesangon,” tambah dia.

Lebih jauh ia mengatakan, sebenarnya Pemerintah bisa saja memberlakukan pola Cost n Fee kepada PT Badak LNG dan membolehkannya untuk melakukan bisnis lain terkait LNG sehingga perusahaan ini mampu menjaga keberlangsungan hidup kilang LNG itu.

“SKK migas pun perlu memberi perhatian dan dukungan lebih kepada Kilang LNG Badak milik negara ini,” pungkasnya.(SF)