Jakarta, Ruangenergi.com – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut alih teknologi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam kegiatan usaha hulu migas sudah dilakukan dengan baik.
Dalam sebuah webinar bertemakan “Peluang dan Tantangan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Bidang Minyak dan Gas Bumi“, Kepala Divisi Formalitas SKK Migas, Didik Sasono Setyadi, mengatakan, kualitas SDM orang Indonesia tidak diragukan lagi, banyak yang pintar-pintar dan banyak pula yang bekerja di luar negeri.
“Akan tetapi persoalan tinggal satu, mereka tidak tergabung di dalam suatu perusahaan yang kuat di Indonesia. Kita kembali risiko perusahaan yang belum terbentuk di sini, inilah yang menjadi tantangan kita ke depan,” kata Didik secara virtual, (19/12).
Ia menambahkan, Indonesia sudah punya BUMN-BUMN (seperti Pertamina, Saka grupnya PGN dan lainnya), dalam pengembangan hal itu sangat bagus, artinya di Indonesia kekuatan-kekuatan nasional dari perusahaan BUMN ataupun swasta sudah mulai muncul, dan itu harus di dorong.
“Kita tidak hanya bermain di Indonesia saja. Kalau kita mau bermain di hulu migas orientasinya jangan di Indonesia saja, sebanyak 39% potensi gas ada di Timur Tengah, main ke Timur Tengah. 32% berada di negara-negara bekas Uni Soviet, main kesana, lalu ada di negara Amerika Latin, main kesana,” ungkap Didik.
“Sebenarnya tantangan kita ke depan sebagai korporasi seperti itu. Kita tidak hanya jadi pemain kandang. Dari sisi SDM kita sudah mampu, tinggal korporasi-korporasi kita yang memang belum tepat,” sambungnya.
Dalam paparan presentasi, Didik mengatakan, fungsi pemerintahan di dalam teori hukum tata pemerintahan, salah satunya adalah pengelolaan dan pengusahaan.

Fungsi pengelolaan dan pengusahaan sangat karakteristik bagi Indonesia, karena Indonesia memiliki Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan amanah kepada negara pada pemerintah untuk melakukan pengelolaan, pemanfaatan sumber daya alam bagi kemakmuran sebesar-besarnya untuk rakyat.
“Indonesia memiliki konsep yang berbeda buang mengatakan bahwa semua sumber daya alam yang ada di wilayah Indonesia merupakan milik rakyat, namun yang vital dan strategi wajib dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” katanya.
Ia menambahkan, SKK Migas memiliki peran yang sentral, dengan melakukan pengawasan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia.
PT Pertamina (Persero) perusahaan nasional yang bergerak dibidang usaha hulu minyak dan gas memiliki anak usaha yakni Pertamina Hulu Energi dan Pertamina EP, mereka di bawah kontrol SKK Migas.
“Kemudian adaTotal yang mengelola Blok Mahakam, namun sekarang sudah digantikan boleh Pertamina. ExxonMobil yang mengelola Blok Cepu, BP yang mengelola Blok Tangguh, Petro China yang beroperasi di Jambi, lalu Medco Energi yang lokasinya ada tersebar di seluruh Indonesia, lalu INPEX yang ada di Blok Masela, semuanya yang beroperasi di Indonesia di bahwa kontrol manajemen SKK Migas,” imbuh Didik.
“Jadi anggapan bahwa semua minyak dan gas bumi di Indonesia sudah dikuasi oleh asing, itu berarti keliru. Yang benar adalah masih dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia, kehadiran perusahaan-perusahaan asing adalah sebagai partner, operator, kontraktor dari aset-aset yang dimiliki oleh Indonesia, yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945,” tegasnya.
Kondisi Kegiatan Usaha Migas di Indonesia saat ini
Didik mengatakan, produksi minyak bumi di Indonesia mengalami penurunan secara alamiah. Sementara, secara konsumsi Indonesia mengalami peningkatan yang luar biasa.
“Produksi minyak bumi saat ini sekitar 700 ribu barel per hari (bph), sementara konsumi minyak bumi kita saat ini mencapai 1,6 juta bph. Dengan kondisi seperti biji, otomatis kita akan menutup selisihnya dengan impor, untuk itu upaya mengurangi ketergantungan impor kita perlu melakukan eksplorasi secara besar-besaran menemukan sumber-sumber yang baru supaya tidak ketergantungan terhadap impor,” ungkap Didik.
Akan tetapi, kontribusi sumber daya alam di sektor migas terhadap APBN jauh lebih besar ketimbang sumber daya alam lainnya. Artinya meski kondisi saat ini tidak sebagus zaman dulu, namun ternyata kontribusi di sektor migas sangat signifikan bagi penerimaan negara.
“Yang perlu kita jadikan tanda tanya nantinya, apakah di pengelolaan-pengelolaan sumber daya lainnya tidak semestinya digunakan sebagai production sharing contract (PSC) atau public private partnership yang ada di migas. Misalnya sektor perikanan, jika bicara potensinya sangat luar biasa, namun jika dilihat fakta sektor perikanan baru bisa menghasilkan penerimaan terhadap negara Rp 1, sekian Triliun. Ini sesuatu yang harus kita cermati, karena kita adalah negara nomor dua dengan garis pantai terpanjang di dunia, potensi sektor perikanan terbaik di dunia, meski begitu mengapa kontribusi sektor perikanan hanya sekitar Rp 1, sekian Triliun,” ungkapnya seraya menimbulkan tanya tanya besar.
Ia menambahkan, wilayah kerja migas tahun 2020 hingga 30 September memperlihatkan bahwa total wilayah kerja migas yang dimiliki Indonesia sebanyak 191, di mana 100 berada di Onshore, 63 berada di Offshore, 28 wilayah ada di Offshore dan Onshore.
Adapun rincian WK yang berlokasi di Onshore, tahap eksploitasi, 10 tahap pengembangan, 41 tahap produksi. Sementara tahap eksplorasi sebanyak 22 WK dalam tahap konvensional, lalu 22 WK GMB (Gas Metana Batubara) dan 4 HNK (Hidrokarbon Non Konvensional); serta terdapat 11 WK masuk kedalam Proses Terminasi 2 WK konvensional dan 9 HNK.
Sementara untuk WK yang berada di Offshore yang masuk dalam tahap eksploitasi sebanyak 7 WK dalam pengembangan, 23 yang produksi. Dalam tahap eksplorasi sebanyak 26 WK konvensional, dan yang masuk ke dalam Proses Terminasi sebanyak 7 WK.
Kemudian, Onshore dan Offshore tahap ekploitasi sebanyak 2 WK dalam pengembangan, 11 WK produksi. Sementara, tahap Eksplorasi sebanyak 12 WK dalam keadaan konvensional, lalu untuk Proses Terminasi terdapat 2 WK dalam keadaan konvensional.