Jakarta, Ruangenergi.com – Logam tanah jarang (Rare Earth/LTJ) merupakan unsur tanah jarang atau kumpulan 17 unsur kimia, terutama kandungan Lantanida (La) ditambah Skandium (Sc) dan Yttrium (Y).
Prof. Purnomo Yusgiantoro, Ir. M.Sc., M.A., Ph.D, mengatakan, LTJ cukup melimpah jumlahnya di kerak bumi dan telah banyak digunakan pada berbagai produk metalurgi, untuk penambahan kekuatan, kekerasan dan ketahanan Baja, low alloy (SLA), baja karbon tinggi, superalloy dan stainless steel.
Selain itu, lanjutnya, juga potensi dan pemanfaatan LTJ untuk produk industri teknologi tinggi seperti komponen komputer, sistem kelistrikan mikro, bahan baku sensor canggih, baterai, telekomunikasi, nuklir, satelit dan bahan baku mesin jet.
“Untuk aplikasi sektor pertahanan LTJ memiliki peran penting dalam produksi Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) berteknologi tinggi. Sebagai contoh adalah untuk pembuatan kapal selam nuklir USS Virginia membutuhkan sekitar 4.173 kg LTJ untuk memperkuat body kapal selam dan untuk pembuatan kapal perusak berpeluru kendali kelas Arleigh Burke membutuhkan 2.358 kg LTJ untuk peningkatan kekuatan lapisan kapal,” kata Purnomo kepada Ruangenergi.com, (18/02).
Selain itu, lanjut Guru Besar Tetap ITB ini, satu jet tempur F-35 Light Strike Fighter, pesawat tempur generasi kelima stealth juga memerlukan 417 kg LTJ untuk material sistem tenaga listrik dan magnetnya.
Purnomo yang juga mantan Menteri ESDM periode (2000–2009), mengaskan, China merupakan negara produsen LTJ terbesar di dunia dengan produksi di tahun 2020 sebesar 140.000 metrik ton atau 83% produksi di dunia (total produksi dunia 170.000 metrik ton).
“Cadangan LTJ di China sekitar 44 juta ton. Dengan adanya dominasi China dalam produksi LTJ di dunia, China memanfaatkannya sebagai senjata geopolitik terhadap barat khususnya AS. China sedang menjajaki pembatasan ekspor LTJ ke US sebagai balasan atas perang dagang yang digencarkan oleh AS terhadap beberapa produk China,” paparnya.
Sementara itu, katanya, untuk Indonesia, pemanfaatan potensi LTJ masih belum berkembang, disamping cadangan LTJ di Indonesia masih belum terpetakan.
Badan Geologi ESDM baru melakukan data lokasi indikasi keterdapatan dan kegiatan penyelidikan sumber daya. Berdasarkan tipenya potensi sumber daya LTJ di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu tipe endapan plaser dan tipe endapan lateritik.
Ia menjelaskan, berdasarkan kajian Badan Geologi ESDM menggunakan metode interpretasi remote sensing pada tahun 2014 dalam endapan tailing mineral timah PT. Timah di wilayah Pulau Bangka ditemukan sekitar 52.000 ton LTJ.
Secara regulasi LTJ sebagai komoditas pertambangan sudah diatur dalam PP No. 23 tahun 2010 yaitu digolongkan sebagai bagian dari jenis mineral logam yang keseluruhannya 58. Namun pada kenyataannya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan untuk LTJ masih belum ada hingga kini.
“Dengan adanya potensi LTJ di Indonesia, bukan tidak mungkin Indonesia juga memiliki peran geopolitik sumber daya LTJ di masa depan. Yang diperlukan adalah mencari investor yang tepat untuk komoditas LTJ ke depan,” tutur Purnomo.
Lebih jauh, ia mengungkapkan, adanya perang dagang antara AS vs China yang belum selesai yang berimbas kepada rencana pembatasan ekspor LTJ oleh China ke AS seharusnya menjadi peluang strategis yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia dengan merebut pasar China.
“Hal ini karena LTJ sangat penting untuk bahan baku pembuatan senjata teknologi tinggi. Untuk pembangunan Alutsista Indonesia sendiri, industri pertahanan (Indhan) Indonesia bisa memanfaatkan momentum dengan bekerjasama dengan Indhan negara lain yang lebih maju dalam teknologinya untuk pemanfaatan dan pengembangan LTJ,” tandasnya.