Jakarta, Ruangenergi.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, pemanfaatan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) bisa dimanfaatkan sebaik mungkin, karena memiliki nilai keekonomian yang cukup tinggi.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan, pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia meski di tengah kondisi Pandemi Covid-19 masih tetap tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia menambahkan, guna memenuhi target rasio elektrifikasi dan kebutuhan listrik nasional Pemerintah merencanakan penambahan pembangkit listrik sebagaimana tercantum dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) PLN. Meskipun saat ini masih draf RUPTL 2021-2030 penambahan dalam 10 tahun kedepan kurang lebih 41 Gigawatt (GW) dibanding RUPTL 2020-2029 sebesar 56 GW.
“Karena ada pertumbuhan yang sedikit kontraksi maka pertumbuhan pembangkit listrik secara total kedepan sekitar 41 GW,” tuturnya, Dalam diskusi online bertajuk “Potensi Pemanfaatan FABA Sumber PLTU Untuk Kesejahteraan Masyarakat”, Kamis, (01/04).
Dari 41 GW tambahan tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih mendominasi sekitar 36% atau sekitar 14-15 GW.
“Lumayan besar, masih besar. Memperhatikan kondisi listrik saat ini PLTU masih menjadi andalan kita dan berfungsi sebagai back loader yang artinya bisa beroperasi secara terus menerus selama 24 jam dan menjadi back bone dari pasokan listrik nasional sampai saat ini,” paparnya.
Untuk diketahui, lanjut Rida, pada 2020 produksi tenaga listrik dari bahan bakarnya mencapai 65,8% atau 181 GW dan kapasitas terpasang PLTU tahun 1020 sekitar 34,61 GW.
“Total hingga saat ini kapasitas pembangkit listrik yang bersumber dari PLTU sampai tahun lalu sebesar 72,8 GW. Jadi PLTU memang masih mendominasi,” imbuhnya.
Karena begitu dominannya PLTU sehingga membutuhkan pasokan batubara sampai 2030 Pemerintah susah memproyeksikan sebesar 140-170 juta ton. Dengan demikian FABA akan diproduksi kurang lebih sebesar 15-17 juta ton per tahun.
“2019 lalu, jumlah FABA yang dimanfaatkan sekitar 10 juta ton,” tukasnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengolahan Limbah Lingkungan Hidup, FABA dari kegiatan PLTU merupakan non bahan berbahaya dan beracun (Non-B3). Hal tersebut sesuai uji karakteristik yang dilakukan oleh pemerintah.
“Bukti empiris dari laboratorium menunjukkan bahwa FABA tidak layak untuk dimasukkan kedalam limbah B3, yakni melalui uji karakteristik lebih rendah dari tingkat kontaminasi radioaktif yang dipersyaratkan.
Terbukanya Pemanfaatan FABA
Dengan dikeluarkannya FABA dari limbah B3, kata Rida, maka terbuka luas pemanfaatannya untuk meningkatkan kontribusi ekonomi.
Di negara luar, FABA secara luas digunakan sebagai material pendukung baik untuk sektor infrastruktur, stabilisasi lahan reklamasi (lahan bekas tambang). Berdasar data tahun 2010, pemanfaatan FABA negara luar sudah cukup tinggi seperti di Jepang hampir 97%, China 67%.
“Mereka disana sudah memanfaatkan FABA terlebih dahulu dan ini yang sedang kita lakukan,” katanya.
Sebagaimana diketahui, di Indonesia sendiri FABA belum terlalu termanfaatkan dengan baik sebelumnya, karena status FABA yang sebelumnya adalah limbah B3. Dengan ditetapkannya FABA sebagai limbah non-B3 maka diharapkan FABA dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga dapat memenuhi industri pengolahan pencampuran di industri beton, pertanian, dan reklamasi pascatambang dan juga roadbase stabilisasi lahan.
Pemanfaatan FABA bagi keperluan infrastruktur dapat memberikan manfaat bagi negara, seperti halnya di Kadin. Tercatat pada 2020 penggunaan beton dengan campuran FABA secara ekonomi dapat menurunkan biaya jika dibandingkan membuat beton konvensional sehingga memberikan efisiensi anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp 4,3 Triliun sampai dengan tahun 2028.
Tentu saja hal ini juga menyerap tenaga kerja pada industri kecil mikro yang kita utamakan. Dengan melihat banyaknya manfaat dari FABA, perlu akselerasi pemanfaatan FABA yang berupa dukungan kebijakan sehingga pemanfaatan FABA dapat dilakukan secara massif dan dapat memberikan keuntungan bagi negara dan mengurangi permasalahan terhadap lingkungan.
Dengan dijadikan FABA sebagai limbah non-B3 pengusaha tetap diminta untuk melakukan pengolahan FABA dengan mengkedepankan prinsip berwawasan lingkungan dan ketentuan yang dipersyaratkan pada PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup dan Aturan Turunannya yang dalam hal ini keluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Informasi saat ini KLHK sedang melakukan finalisasi pengolahan FABA yang nantinya dapat dijadikan sebagai acuan kegiatan PLTU dalam mengelola FABA. Dengan begitu FABA akan dikelola lebih baik, disamping lebih aman untuk lingkungan, juga memberikan manfaat bagi masyarakat dan bagi negara,” tukas Rida.
“Saya kira melalui Webinar ini kita dapat banyak pengetahuan dan sekitarnya memungkinkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah dalam hal menyusun kebijakan lebih jauh dalam rangka mempercepat pemanfaatan FABA agar lebih bermanfaat bagi masyarakat dan negara,” tandasnya.