Jakarta, Ruangenergi.com – PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) selama ini mendapatkan pasokan listrik dari PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN), anak usaha CPI yang menyediakan dan memasok listrik yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di WK Rokan berkapasitas 300 Megawatt (MW).
Beberapa bulan menjelang alih kelola Blok Rokan kepada PT Pertamina (Persero), tepatnya pada 9 Agustus 2021, PT CPI dikabarkan saat ini tengah melakukan beauty contest terkait kepemilikan pembangkit listrik yang mensuplai Blok Rokan.
Di mana nantinya pembangkit listrik tersebut akan dilelang oleh CPI untuk kembali mensuplai Blok Rokan.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai, apa yang dilakukan oleh Chevron selama ini dengan membeli listrik dari MCTN merupakan suatu hal yang dapat merugikan negara.
Oleh karena itu, Mamit meminta MCTN untuk membantalkan tender tersebut dan memberikan kepada PT PLN (Persero) untuk menjadi priotitas utama sewa disana.
“Saya kira apa yang dilakukan oleh Chevron selama ini dengan membeli listrik lebih mahal dari seharusnya dari PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) merupakan suatu hal yang bisa dikatakan merugikan negara. Aparat penegak hukum saya kira perlu turun untuk menyelidiki kasus ini karena ada potensi kerugian negara. Karena ini menyebabkan beban cost produksi mereka menjadi lebih tinggi. Apalagi, MCTN sahamnya 95% dimiliki oleh Chevron sendiri,” ujar mamit saat dihubungi Ruangenergi.com, (05/04).
Selain itu, terkait dengan tender yang dilakukan MCTN saat ini, jelas Mamit, seperti melawan negara.
“Pembangkit MCTN berada di aset negara dimana seharusnya di kembalikan kepada negara. Menurut saya, MCTN adalah aset yang sudah di cost recovery dan di kembalikan kepada negara. Semua biaya operasional sudah di bayarkan oleh negara dengan skema cost recovery tersebut. Jadi saya kira MCTN harus kembali ke negara dan diserahkan kepada Pertamina atau PLN untuk mengelola pembangkit tersebut,” imbuh Mamit.
Menurutnya, apa yang dilakukan MCTN dengan meminta penilaian dari JP Morgan terkait dengan usia aset mereka dimana menurut JP Morgan masih mampu beroperasi 40 tahun lagi adalah keanehan.
“Aset yang sudah berusia lebih dari 20 tahun masih dinilai begitu tinggi. Saya menduga ini sebagai upaya dari Chevron melalui MCTN untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal,” paparnya.
Dijelaskan olehnya, mereka paham bahwa PT PLN (Persero) mempunyai kelemahan harus membangun jalur transmisisi dan distribusi selama 3 tahun sehingga baru bisa digunakan tahun 2024.
Untuk itu, melalui peniliaan ini, otomatis value dari aset MCTN akan semakin mahal dan mereka akan mencari penawaran tertinggi. Lalu, dampaknya adalah, ke depan jika swasta atau asing yang menang maka harga listrik dan uap akan mahal karena tidak ada yang bisa melakukan kontrol terhadap harga.
Hal ini sangat berbeda jika PLN yang menang, dalam perjanjian jual beli listrik dan uap dengan PHR (Pertamina Hulu Rokan) harganya sudah di tentukan.
Selain itu, apakah ada jaminan swasta mau dikontrak 3 tahun saja apalagi penilaian JP Morgan bisa 40 tahun. Hal ini akan merugikan PLN dan PHR bahkan merugikan negara. Produksi Rokan bisa terganggu jika permasalahan listrik ini tidak selesai.
“Oleh karena itu, saya meminta MCTN untuk membantalkan tender tersebut dan memberikan kepada PLN untuk menjadi priotitas utama sewa disana. Bahkan jika perlu,saya mendesak pemerintah agar MCTN di berikan kepada negara karena sudah dibayarkan dengan skema cost recovery,” tegas Mamit.
“Selain itu, saya mendesak penegak hukum untuk menyelidiki transfer pricing yang dilakukan oleh Chevron,” tandasnya.