Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah harus memberikan kebebasan kepada investor atau kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) untuk memilih skema bagi hasil pengelolaan wilayah kerja (WK). Artinya opsi gross split atau cost recovery atau pun skema lainnya perlu ditawarkan kepada investor di awal proyek.
“Upaya ini perlu dipertimbangkan untuk mendorong peningkatan produksi migas melalui kebijakan yang pro terhadap investor atau pelaku usaha,” kata Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, dalam sebuah diskusi yang digelar secara virtual, Senin (12/4/2021) kemarin.
“Jadi ada kesepakatan bersama antara pemerintah dengan investor. Saya mendukung adanya kebebasan dalam memilih sistem fiskal yang digunakan untuk bagi hasil,” tambah dia.
Lebih jauh Purnomo mengatakan, Pemerintah perlu melakukan reformasi secara masif dan konsisten dalam pelayanan perizinan usaha.
“Saya dengar saat ini pengajuan perizinan usaha sudah dilakukan secara online melalui pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Ini bagus, hanya saja perlu konsistensi dalam implementasinya khususnya terkait dengan perizinan untuk usaha hulu migas, harus dipercepat dan dilakukan secara konsisten,” paparnya.
Ia menjelaskan, bahwa usaha di hulu migas penuh dengan risiko dan padat modal. Sehingga dengan kemudahan perizinan akan sangat membantu investor atau KKKS melakukan produksi migas.
“Apalagi saat ini hasil produksi migas nasional trennya mengalami penurunan. Untuk itu, demi mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari harus ada upaya mempercepat produksi yang dimulai dari kemudahan perizinan,” pungkasnya.
Green Strategy Energi Nasional
Sebelumnya pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ESDM Ego Syahrial mewakili Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, guna menjawab tantangan yang saat ini dihadapi yaitu penurunan produksi minyak dan gas (Migas), keterbatasan pengembangan energi baru terbarukan, ekspor batubara yang tertekan dan tuntutan pembangunan infrastruktur yang lebih masif dan tepatguna, Pemerintah saat ini telah menyusun green strategy energi Nasional yang memuat tentang strategi dalam rangka meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi.
“Salah satunya misalnya untuk menekan atau menurunkan impor bahan bakar minyak (BBM), Pemerintah merencanakan membangun 1 kilang baru atau grass root (GRR) dan pengembangan 4 kilang RDMP,” katanya.
Namun kata dia, dengan peningkatan fasilitas kilang tersebut maka kebutuhan crude juga akan meningkat. Untuk itu pemerintah telah mencanangkan program produksi minyak bumi 1 juta barel per hari di tahun 2030 melalui peningkatan kegiatan eksplorasi, serta juga melakukan akuisisi lapangan minyak di luar negeri.
“Diharapkan kegiatan ini bisa menghemat devisa hingga mencapai USD 14,1 miliar per tahun untuk periode 2021 hingga 2040,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, kebijakan penggunaan bahan bakar gas atau BBG untuk kendaraan juga akan terus didorong dengan pendekatan yang lebih baik sehingga ditargetkan pada tahun 2030 penggunaannya dapat mencapai lebih dari 400 ribu unit kendaraan dan diharapkan digunakan oleh setidaknya 250 ribu unit kapal.
“Kendaraan listrik juga akan didorong penggunaannya sehingga bisa mencapai 15 juta kendaraan di tahun 2030. Tidak hanya itu, kebijakan penggunaan biodiesel pun akan terus dipertahankan,” tukasnya.
Pemerintah, kata dia, juga terus berupaya untuk menurunkan impor elpiji melalui peningkatan produksi, peningkatan pembangunan jaringan gas kota dengan target 1 juta sambungan per tahun mulai 2021, baik melalui skema APBN maupun melalui skema KPBU. “Tidak hanya itu, penggunaan kompor listrik diharapkan bisa mencapai 2 juta pelanggan per tahun,” ucapnya.
“Dengan program ini diharapkan pada tahun 2027 tidak ada lagi impor elpiji sehingga dapat menghemat devisa sebesar hampir USD 4 miliar per tahun untuk periode tahun 2021 hingga 2040,” pungkasnya.(SF)