“Pukul Rata” Harga Hambat Pemanfaatan Gas Bumi di Tanah Air

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah secara resmi telah memberlakukan harga gas untuk industri dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar US$ 6 per juta british thermal unit (million british thermal unit/mmbtu) yang ditetapkan untuk harga gas khusus industri.

Pemberlakuan ini dinyatakan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Permen tersebut merupakan keputusan dari Rapat Terbatas (Ratas) pada tanggal 18 Maret 2020 yang lalu.

Menurut Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, khusus untuk PLN, maka penetapan harga gas industri ini masih masuk akal karena BUMN ini punya masalah dengan harga batu bara yang dikuasai oleh korporasi swasta. Namun, bagi PGN “pukul rata” harga gas industri sebesar US$6 tentu bakal menyurutkan atau malah menghambat perluasan pemanfaatan gas bumi di tanah air.

“Penetapan kebijakan harga gas yang jauh dari tingkat keekonomian tersebut akan berdampak pada kelancaran proyek pembangunan infrastruktur gas bumi yang dilakukan oleh PT PGN,” kata Defiyan Cori di Jakarta, Minggu (10/5).

“Apabila kebijakan harga gas diatur sangat rendah dan tidak memberi ruang bagi perusahaan niaga untuk mendapatkan keuntungan yang layak, perusahaan niaga tentu akan membatasi ekspansi pembangunan infrastruktur gas bumi,” tambah Defiyan.

Di lain pihak, kata dia, dari aspek eksplorasi, produksi dan pemasaran juga memiliki karakteristik manajemen dengan tingkat efisiensi dan efektifitas yang tak mudah, karena sumber gas bumi Indonesia sebagian besar berada di wilayah Indonesia bagian timur, sedangkan konsumsi gas terbesar atau sasaran pasar gas berada di Indonesia bagian barat.

“Dalam posisi tersumbat (bottle neck) permasalahan inilah, infrastruktur menjadi kunci penting sebagai solusi mengoptimalkan sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi nasional untuk kepentingan kemandirian ekonomi nasional,” tukasnya.

Lebih jauh ia mengatakan, besarnya cadangan gas bumi yang saat ini ada di Indonesia memang sebuah berkah dan kekayaan yang luar biasa. Namun, tidaklah berarti kekayaan sumber daya alam ini menjadi berarti kalau pemerintah sendiri tidak memberi dukungan kebijakan yang rasional dan maksimal.

“Tanpa dukungan investasi jaringan infrastruktur gas bumi yang memadai, tak mungkin BUMN, khususnya PGN bisa bersaing dengan harga yang kompetitif. Harusnya pemerintah fokus membangun jaringan infrastruktur ini jika ingin lepas dari beban impor BBM yang semakin besar dan membuat defisit migas membengkak,” paparnya.

“Alangkah baiknya pemerintah melalui Kementerian Perindustrian melakukan pemetaan permasalahan yang dialami oleh industri dan memahami sifat dan karakter HPP pembentuk harga jual produk masing-masing industri, kemudian menetapkan batas atas dan bawah margin bagi PGN,” tambah Defiyan.

Ia menilai, Pemerintah akan sulit mewujudkan sasaran atau target yang ambisius itu jika tak mampu membuat skala prioritas dalam membangun infrastruktur utama berdasar kemampuan keuangan mandiri dari dalam negeri (self financing). “Apalagi, jika harga gas bumi yang diputuskan oleh pemerintah menjadikan PGN semakin kesulitan berkembang dan melakukan investasi dari porsi margin harga jual gasnya,” ujarnya.

Menurut Defiyan, tidak mungkin PGN mengandalkan pengembangan infrastruktur gas bumi yang membutuhkan padat modal (capital intensive) jika kemampuannya untuk memperoleh batas laba bersih (net profit margin) semakin menurun. “Setidaknya, selama periode 2015-2019 laba bersih PGN turun rata-rata 40 persen per tahun. PGN yang masih merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didukung pemerintah saja makin kedodoran untuk membangun infrastruktur,” tukasnya.

Dengan harga gas yang semakin tidak menarik, lanjut dia, tentu tidak mungkin mengundang ketertarikan para investor yang akan membangun jaringan infrastruktur gas bumi. “Pihak swasta dalam sistem ekonomi kapitalisme yang semakin mendunia ini tidak akan ada tertarik dengan persentase batas laba yang kecil. Belum lagi dengan proses perizinan pemerintah untuk melakukam investasi diberbagai bidang industri, khususnya minyak dan gas bumi rantainya panjang dan berbelit-belit,” tutup Defiyan Cori.(Red)