Jakarta, Ruangenergi.com – Pengamat Energi, Widhyawan Prawiraatmaja, menyebut, dalam target yang diinisiasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) meningkatkan produksi minyak 1 juta BOPD dan gas bumi 12 BSCFD merupakan harapan semua stakeholder.
Ia menjelaskan, pada prinsipnya produksi migas konteks utamanya adalah investasi, jadi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berekspektasi bahwa pengembalian atas investasi yang sudah dikeluarkannya akan mendatangkan keuntungan.
Ia mengatakan, para KKKS juga dalam melakukan operasinya di Indonesia selalu mengikuti seluruh aturan ataupun regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah, dari mulai perolehan Wilayah Kerja (WK) sampai ke end user (konsumen).
“Dalam hal produksi yang dilakukan oleh KKKS, mereka juga harus melihat dan memperoleh cadangan terbukti dari hasil kegiatan eksplorasi, di mana proses pengembangannya dilakukan melalui persetujuan SKK Migas, atas dasar keekonomian. Dengan demikian volume migas yang dihasilkan adalah konsekuensi dari kegiatan investasi yang memberikan imbal-hasil yang memadai bagi KKKS,” bebernya.
Menurut pria yang pernah jadi Gubernur OPEC Indonesia ini, dalam menggapai target tersebut, Indonesia perlu belajar ke negara-negara yang telah berhasil menaikkan produksi migasnya. Akan tetapi, tetap harus melihat keberlanjutan dari proses tersebut.
“Menurut saya target adalah target, tapi yang penting adalah keberlanjutannya,” jelas Widhyawan, dalam diskusi online yang diselenggarakan SKK Migas, (28/04).
Ia menerangkan, tantangan bagi Indonesia bukan hanya SKK Migas yang memiliki visi dalam mencapai produksi migas nasional, tentunya stakeholder juga ikut berperan dalam menggapai visi bersama 1 juta BOPD dan 12 BSCFD.
Ia menyebutkan, tantangan jangka pendek/menengah di tengah ketidakpastian Covid-19, hal itu sangat berimbas pada harga minyak dan pengaruh transisi energi (akselerasi energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil).
Menurutnya, Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum dalam melakukan pemulihan ekonomi.
“Ini saatnya untuk merubah pendekatan dan kebijakan untuk mengembalikan Indonesia menjadi tujuan investasi hulu migas,” imbuhnya.
Dijelaskan olehnya, akselerasi cadangan monetisasi cadangan telah ditemukan, khusus yang keekonomiannya marginal, melalui pemberian insentif, dengan mengambil momentum pemulihan ekonomi nasional. Selanjutnya yakni memfasilitasi dan mengakselerasi program Plan Of Development (POD).
Sementara, tantangan jangka Panjang menurutnya adalah eksplorasi. Ia mengatakan, keberhasilan penawaran wilayah kerja baru menjadi kunci, di tengah sentiment kenaikan investasi eksplorasi oleh International Oil Companies (IOC).
Ia menjelaskan, kegiatan hulu migas sangat penting untuk Indonesia, karena menghasilkan dampak berganda yang sangat signifikan dari kegiatan ekonomi yang terkait upward and downward linkages.
“Kegiatan bisnis hulu migas yang berkembang baik (thriving) mencerminkan iklim investasi sehat dan sekaligus akan menjadi pembuktian bagi sumber daya migas Indonesia yang belum tereksplorasi,” paparnya.
Kegiatan hulu migas yang berkembang secara berkelanjutan hanya dapat terjadi dengan kegiatan ekplorasi yang berkesinambungan. Untuk itu, katanya, keberanian melakukan trobosan menjadi kunci keberhasilan. Energi transisi adalah keniscayaan. Hal ini menyiratkan kesempatan (window off opportunity) yang tidak akan berumur panjang, sehingga waktunya adalah sekarang,” imbuhnya.
“Penawaran wilayah kerja baru menjadi tantangan di depan mata yang perlu dimanfaatkan. Perubahan pendekatan perlu diperkuat dengan konsistesi aturan, dimulai dari UU Migas yang perlu diselesaikan segera,” tandasnya.