Jakarta, Ruangenergi.com – Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Hindun Mulaika menilai pengesahan RUU Minerba oleh DPR dan pemerintah hanya mengungtungkan oligarki dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Ia menilai ada dorongan begitu kuat atau pengaruh besar dari taipan batubara dalam mempengaruhi pengambilan keputusan yang mendasari disahkannya RUU Minerba ini.
Memurut Hindun salah satunya yakni terkait dengan kepastian perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang dalam revisi teranyar mendapat jaminan perpanjangan. Pasalnya, para PKP2B yang akan habis masa kontraknya ini membutuhkan kepastian izin pengelolaan batubara, mengingat beberapa dari mereka memiliki hutang jatuh tempo.
“Nah ini menjadi risiko sendiri kalau dia tidak punya refinancing plan. Konsen utama dari kreditor yakni terkait dengan kepastian izin, kalau perusahaan tambang ini tidak berisiko besar,” ujar dia dalam konferensi pers Bersihkan Indonesia Menyikapi Pengesahan RUU Minerba, di Jakarta Rabu (13/5/20
Hal senada juga disampaikan Peneliti Yayasan Auriga Nusantara, Iqbal Damanik. jika pengesahan RUU Minerba yang terkesan terburu-buru tersebut hanya memberikan jaminan dan memfasilitasi perlindungan bagi taipan batu bara.
Selain itu, penambahan dalam pasal 169 juga mencerminkan sikap pemerintah dan DPR yang hanya mengutamakan kepentingan investor bukan rakyat.
“Kenapa pengesahan RUU Minerba ini tergesa-gesa karena memang ada kebutuhan menolong ada membailout. Ada beberapa penambahan pasal 169 bahwa mereka dijamin perpanjangannya,” kata Ikbal.
Berdasarkan laporan Koalisasi Masyarakat Bersihkan Indoenesia terdapat tujuh taipan besar pemegang PKP2B yang yang diduga memuluskan jalan pengesahan RUU Minerba menjadi undang-undang. Pasalnya ketujuh perusahaan tersebut akan habis izinnya dalam kurun waktu 2020-2023.
Adapun ada pemegang PKP2B generasi I yang kontraknya mau habis di antaranya PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).
Sebelumnya, Publish What You Pay (PWYP) mengungkapkan sejumlah poin-poin pasal yang bermasalah pada Revisi UU Minerba tersebut. Manager Advokasi PWYP Ariyanto Nugroho membeberkan, sejumlah masalah di UU Minerba yang barus saja disahkan dan mulai berlaku hari ini.
Ia mengatakan bahwa persoalan yang ada di dalam UU Minerba pertama terkait pemberian karpet merah bagi pemegang PKP2B utamanya pasal 169.
Selain itu, pemegang PKP2B dan Kontrak Karya bisa mendapatkan perpanjangan melalui perubahan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK tanpa melaui proses lelang dengan luas wilayah bisa lebih dari 15.000 hektar melebihi undang-undang sebelumnya. “Pemegang IUPK bisa meminta luas wilayah produksinya dengan persetujuan menteri,” kata dia.
Poin bermasalah lainnya yakni terkait masalah perizinan, yang dulunya izin di tingkat provinsi tapi dengan aturan. Sekarang aturan tersebut dicabut kemudian diserahkan seluruhnya ke pemerintah pusat.
“Ini akan menajdi polemik dan dampaknya akan luar biasa. Kita tahu dari 2016 saja transisi dari kabupaten ke provinsi belum selesai sekarang harus ditransisikan lagi. Nah ini saya pikir akan menjadi polemik baru yang berkepanjangan,” paparnya.
Adapun poin selanjutnya terkait wilayah hukum pertambangan. Melalui aturan perundang-undangan yang baru tersebut saat ini wilayah hukum pertambangan mengatur izin wilayah di laut. “Ini menjadi persoalan menarik karena bagaimana kita memastikan reklamasi pasca tambang di laut,” kata dia
Kemudian poin berikutnya terkait lubang tambang. Ariyanto mengungkapkan bahwa pada pasal 99 hingga 100 di UU Minerba sekarang lubang tambang akhir ditutup berdasarkan persentase.
“Jadi kalau aturan lalu itu lubang tambang harus ditutup keseluruhan, tapi kalau aturan sekarang itu hanya sesuai persentase tertentu dianggap selesai apabila penutupannya sudah memenuhi beberapa persen saja,” jelasnya.
Sementara poin selanjutnya terkait hilirisasi. Pada poin ini cukup menarik karena kewajiban pelaksanaan peningkatan nilai tambah itu hanya di mineral sedangkan batu bara tidak diwajibkan. Sesuai pasal 02 kalau aturan lama penambang mineral maupun batu bara wajib melakukan hilirisasi tapi melalui perundang-undangan yang baru ini pengusaha batu bara dimungkinkan tidak diwajibkan untuk meningkatkan nilai tambah.
Poin penting lainnya yaitu pasal terkait izin usaha pertambangan. “Melalui undang-undang baru ini IUP bisa dipindahtangankan melalui persetujuan menteri. Ini membuka peluang potensi korupsi karena izin bisa dipindahtangankan hanya dengan sepengetahuan menteri. Itu menjadi beberapa poin yang menjadi masalah di UU Minerba saat ini,” tutupnya.(Red)
