Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress), Marwan Batubara mengatakan, bahwa Pemerintah tidak perlu membentuk BUMN Khusus sektor minyak dan gas (migas) untuk mengurusi dan mengelola energi nasional, karena sudah ada BUMN Pertamina yang selama ini mengelola sektor migas dengan baik.
“Jadi Pemerintah hanya perlu meningkatkan status Pertamina sebagai BUMN Khusus yang menjadi single operator dalam pengelolaannya. Dengan begitu Pemerintah benar-benar menunjukkan komitmennya untuk membuat Pertamina sebagai perusahaan kelas dunia,” kata Marwan dalm diskusi online di Jakarta, Jumat (15/5).
Menurut Marwan, sejauh ini pemerintah sebenarnya sudah melangkah cukup baik dengan membentuk holding migas di bawah kendali Pertamina. “Karena itu, akan lebih relevan dan optimal jika holding tersebut disempurnakan dengan mengintegrasikan satu BUMN baru (yang mungkin nanti dibentuk) ke dalam holding migas, sehingga Pertamina tetap menjadi leading company,” papar Marwan.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa dalam konstitusi BUMN dirancang memiliki dan mengelola aset SDA migas agar dapat dimonetisasi dan digunakan untuk berbagai aksi korporasi. Monetisasi SDA migas oleh BUMN khususnya bagi Pertamina melalui pemberian hak kustodian dapat menjadi leverage bagi Pertamina untuk berkembang lebih besar dalam meningkatkan pendapatan serta keuntungannya.
Dengan menjadi kustodian, Pertamina dapat membukukan pendapatan bagian Pemerintah dari firsttrench petroleum (FTP) dan equity to split (ETS) sebagai bagian daripenerimaan.
“Dengan berbagai manfaat itu, maka sejumlahketentuan terkait aspek penguasaan negara melalui holding BUMN Migas (terhadap Pertamina) dan kustodian aset migas oleh holding BUMN harus masuk dan ditetapkan dalam RUU Cipta Kerja,” tukasnya.
Ia menilai Pemerintah akan semakin ugal-ugalan dalam pengelolaan migas nasional apabila RUU Cipta Kerja klaster energi migas tersebut diberlakukan. Sebab ada peluang bagi Pemerintah untuk meniadakan peran Pertamina untuk lebih jauh mengelola sumber daya alam khususnya sektor energi. “Padahal Pertamina sudah sangat terbukti mampu mengelola migas dari hulu hingga hilir,” tukasnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Hassanudin Makasar, Juajir Sumardi, mengatakan apabila pasal 41A Ayat (2) RUU Cipta Kerja itu disahkan dan tidak memberikan kepastian bagi PT Pertamina sebagai BUMN Khusus, maka berarti memberikan ruang bagi SKKMigas untuk tetap menjadi badan atau lembaga yang berwenang dalam kegiatan usaha hulu migas.
Padahal, kata dia, SKK Migas merupakan wakil pemerintah yang harusnya levelnya sebagai regulator. “SKK Migas bukan badan usaha sehingga ketika nantinya terjadi kontrak yang gagal dalam hal pengelolaan migas, maka berpotensi akan merugikan negaralantaran SKK Migas operasionalnya menggunakan dana APBN,” tukasnya.
Oleh sebab itu, semestinya ketika ada kontrak pengelolaan migas maka badan usaha yang menjadi eksekutornya yaitu PT Pertamina (Persero). Dia menilai apabila pemerintah tetap akan ngotot membentuk BUMN Khusus migas maka hal itu akan sangat tidak efektif dan tidak efisien. “Karena dalam pembentukan BUMN Khusus migas butuh effort dan dana yang tidak sedikit. Untuk menghindari itu maka Pertamina harus dinaikkan statusnya agar eksekusi atas kontrak-kontrak migas bisa lebih cepat dan efisien,” tukasnya.
“Agar pemerintah tidak melanggar konstitusi dan bisa melaksanakannya dengan baik maka langsung saja tingkatkan status Pertamina yang sifatnya umum menjadi BUMN Khusus. “Jadi adanya RUU Omni Bus Law Cipta Lapangan Kerja ini harus hati – hati sebab kalau diberlakukan tanpa ada revisi maka SKK Migas bisa tetap melanjutkan kontrak di bidang minyak bumi padahal dia itu adalah wakil pemerintah bukan badan usaha,” pungkasnya.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar menegaskan bahwa demi kepentingan nasional maka harus ada keberpihakan kepada BUMN Migas dalam hal ini Pertamina yang harus diberdayakan dan dibesarkan.
“Karena itu negara harusnya memberi hak kuasa pertambangan dan hak penguasaan kepada Pertamina melalui Kementerian ESDM untuk mengendalikan dan mengelola usaha hulu migas,” ucap Arie.
Sementara itu Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan bahwa Pemerintah harus punya ketegasan terkait siapa pengelola kegiatan usaha hulu migas termasuk regulasi yang mengaturnya yang sudah lama terkatung-katung. “UU Migas 12 tahun di DPR tidak selesai-selesai, tetapi UU Minerba selesai dalam situasi pandemi COVID-19,” kata Komaidi.
Menurutnya, terkait siapa pengelola usaha hulu migas memang tetap perlu ada satu unit yang bekerja untuk menangani kerjasama hulu migas dengan pihak lain. “Misalnya nanti SKK Migas akan dimasukkan kembali ke Pertamina, itu baik-baik saja. Karena memang dulu di UU No.8 Tahun 1971 (di bawah Pertamina) terbukti cadangannya 12 miliar barel dan produksinya mencapai 1,6 juta barel per hari,” tukasnya.
Sekedar diketahui, rencana pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) yang akan berperan mengelola kegiatan usaha hulu migas sudah termuat dalam draft RUU Cipta Kerja dan merupakan bagian dari klaster kemudahan berusaha dari 11 klaster RUU Cipta Kerja. Dalam hal ini, pemerintah dapat menugaskan Pertamina atau BUMN lain sebagai BUMNK. Belum diketahui bagaimana akhir rencana tersebut apakah kelak akan dibentuk 1 atau 2 BUMN, yang berkaitan dengan peran SKK Migas ke depan. Hal ini tentu tak lepas dari kepentingan berbagai pihak untuk memperoleh manfaat. Telepas dari banyaknya kepentingan, pilihan yang diambil mestinya sesuai Pasal 33 UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/2012 dan kepentingan strategis nasional.(SF)