Minyak Bumi

IEA Luncurkan Konsep Zero Emission,  Bagaimana Target 1 Juta Barel?

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai langkah yang dilakukan International Energy Agency (IEA) yang telah meluncurkan konsep transisi energi untuk mencapai Zero Emission pada 2050 mendatang, menurutnya hanya rekomendasi  saja.

Untuk itu, ia meminta agar para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan stakeholder yang bergerak disektor minyak dan gas bumi tidak perlu panik. Sebab, Pemerintah juga memiliki target lifting minyak sebesar 1 juta barel dan gas sebesar 12 BSCFD pada 2030 mendatang.

“Terkait permintaan dari IEA untuk menghentikan kegiatan pengeboran, saya kira itu hanya berupa rekomendasi saja. Para KKKS di Indonesia tidak perlu panik terkait rekomendasi yang di keluarkan tersebut,” ujar Mamit kepada Ruangenergi.com, (20/05).

Meski hal itu menjadi acuan bagi banyak negara untuk juga membuat sebuah peta jalan menuju karbon netral pada tahun 2050, dan dalam laporan Net Zero, dunia tidak akan membutuhkan proyek minyak dan gas baru di luar yang disetujui pada tahun ini.

Selain itu, IEA mengatakan semua investasi energi baru harus dari jenis yang dapat diperbarui, hal itu sebagai penyebaran langsung dan masif dari semua teknologi energi bersih dan efisien yang tersedia.

Mamit menambahkan, Indonesia, sebagai pemegang kontrak kerjasama dengan KKKS pasti akan menghormati isi daripada perjanjian tersebut. Apalagi Indonesia mempunyai target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD untuk gas pada tahun 2030 yang akan datang.

“Sektor migas, sebagai salah satu penyumbang terbesar dalam APBN kita tetap akan berjalan seperti biasa. Terkait dengan pengurang emisi gas rumah kaca, pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang tercantum dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional),” katanya.

Ia kembali menjelaskan, menurutnya pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam negeri mengalami peningkatan seiring dengan komitmen global Perjanjian Paris untuk menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat Celcius, dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat Celcius.

Selain itu yakni menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030 sesuai NDC (Nationally Determined Contribution).

Tak hanya itu, Pemerintah terus berupaya mengurangi emisi GRK sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030 mendatang, melalui pengembangan EBT, pelaksanaan efisiensi energi dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.

“Saat ini pun, perkembangan EBT di Indonesia sudah mengalami peningkatan dalam rangka mencapai komitmen tersebut. Indonesia juga masih terus berupaya menjalankan komitmen yang disepakati dalam COP21,” imbuh Mamit.

Sementara, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, (Dirjen Migas), Tutuka Ariadji, secara terpisah mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan energi murah untuk pertumbuhan ekonominya.

“Negara kita adalah negara berkembang dengan jumlah penduduk dan rentang wilayah yang tidak jauh dari Amerika Serikat, yang tengah membutuhkan energi murah untuk pertumbuhan ekonominya,” imbuhnya, (19/05).

Menurut Tutuka, kondisi ini membutuhkan strategi yang tepat dan keputusan yang bijak, tidak bisa semata-mata mengikuti persis apa yang dilakukan negara maju.

“Untuk itu, perlu pemilihan teknologi yang tepat sehingga pertumbuhan ekonomi dapat mencapai target yang diharapkan dengan mengindahkan konsiderasi lingkungan dan perubahan iklim yakni Carbon Capture Storage and Utilization,” bebernya.