Jakarta, Ruangenergi.com – Komisi VI DPR-RI meminta agar PT Pertamina (Persero) untuk berkomitmen penuh dalam memperkuat industri petrokimia nasional.
Hal tersebut dikatakan oleh Anggota Komisi VI DPR, Lamhot Sinaga, disela-sela rapat Komisi VI dengan jajaran Direksi Pertamina di Gedung Nusantara I, Senayan, (20/05).
Menurutnya, saat ini hampir 70% kebutuhan Indonesia terhadap bahan baku petrokimia berasal dari impor. Padahal industri yang menggunakan bahan baku tersebut terus berkembang.
“Kita ini juga kan punya batasan waktu yang sangat mungkin antara 50 sampai sekian tahun yang akan datang. Nah ini kan harus disiapkan, sebagaimana lazimnya sebuah negara biasanya adalah bahwa petrochemical itu dikelola sendiri,” jelasnya.
Ia menambahkan, Indonesia saat ini kalah jauh jika dibandingkan Malaysia dengan Petronas-nya atau bahkan Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam, namun dapat berdaulat terhadap bahan baku petrokimia. Untuk itu, ia menegaskan agar Indonesia harus mulai mempersiapkan diri terhadap industri petrokimia mulai dari hulu hingga ke hilirnya.
“Itu yang tidak pernah saya lihat. Dan bahkan dulu saya pernah mengatakan bahwa setiap kilang itu harusnya wajib diintegrasikan dengan petrochemical, karena semua turunannya ada di situ. Tapi saya belum melihat sampai sejauh ini komitmennya pertamina untuk menyambut ke depan kepada pasar petrochemical,” tuturnya.
Lebih jauh, ia mengemukakan, dalam suasana restrukturisasi yang saat ini dilakukan oleh Pertamina, dirinya berharap keinginan memperkuat industri petrokimia dapat diwujudkan, terlebih nilai investasi daripada restrukturisasi tersebut nilainya mencapai US$ 80 Miliar.
“Mumpung momentumnya tepat dalam tahap melakukan restrukturisasi pertamina sekarang ini harusnya arahnya dibawa ke sana,” bebernya.
Insiden Kilang Balongan
Sementara, dalam paparan di sidang Komisi VI DPR-RI, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan lokasi Kilang Balongan (Refinery Unit /RU) VI Balongan yang sangat dekat dengan jalan raya.
Sehingga saat terjadi insiden kebakaran pada Senin (29/03) lalu, hal itu mengakibatkan masyarakat yang melintas menjadi korban, hingga menimbulkan korban luka dan meninggal dunia.
“Kami keliling di sana, memang itu terlalu di samping kilang kami adalah jalan raya, dan kecelakaan terjadi untuk orang yang melintas,” kata Nicke.
Nicke mengungkapkan, saat ini aparat hukum tengah melakukan investigasi atas insiden tersebut. Namun demikian, kata Nicke, Perseroan mengambil pelajaran (lesson learn) dari kebakaran tersebut, setidaknya dibutuhkan buffer zone (zona penyangga) antara kilang dengan area publik.
“Jadi, lesson learn-nya adalah kami sekarang memprioritaskan pembangunan area untuk buffer zone,” beber Nicke.
Ia mengakui, beberapa kilang milik Pertamina belum memiliki buffer zone yang memadai, seperi di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang di Jakarta Utara.
Untuk itu, Pertamina akan mengidentifikasi ketersediaan buffer zone di Kilang Cilacap dan Kilang Balikpapan.
“Plumpang ini, kalau dilihat dari safety (keamanan) sudah tidak safe sama sekali. Oleh karena itu, kami ada dua opsi, apakah bisa kami bebaskan area sekitar situ untuk buffer zone atau kami pindahkan,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui insiden kebakaran di Kilang Balongan tersebut, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat mencatat sebanyak 29 orang mengalami luka ringan. Kemudian, sebanyak 6 orang mengalami luka berat dan ratusan warga yang tinggal di sekitar lokasi kilang mengungsi di sejumlah posko pengungsian. Saat dilakukan perawatan, sedikitnya tiga (3) dari enam korban luka berat dinyatakan meninggal dunia.