Jakarta, ruangenergi.com– Di hari jadinya yang ke 19 tahun, GeoDipa merilis buku perjuangan panjang melistriki negeri dengan listrik panas bumi lewat Buku Putih Geo Dipa Energi secara virtual, Senin (5/7/21) dengan moderator Prita Laura Anchor News Metro TV.
Acara bedah buku ini dihadiri oleh berbagai kalangan penting dari Kementerian ESDM, Dirjen EBTKE, Direktur Panas Bumi, Direksi PLN, Ketua METI, Kementerian Keuangan, Komisaris dan jajaran Direksi GeoDipa, serta seluruh insan GeoDipa di PLTP Dieng dan Patuha.
Sebagai Penulis Marwan Batubara berharap, buku PT.Geo Dipa Energi (Persero) dapat memberi gambaran singkat tentang sejarah pendirian, kisah sampai menjadi BUMN dan perannya dalam penyediaan energi baru terbarukan, terutama energi listrik melalui pengelolaan sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia.
Energi primer merupakan salah satu komponen paling strategis bagi seluruh negara karena energi primer menentukan daya tahan, keamanan, pertumbuhan, kemajuan, serta Keberlangsungan hidup suatu negara. Seperti terjadi secara global, Indonesia mestinya sudah tidak lagi bergantung pada sumber energi konvensional (dari fosil) semata.
Cadangan minyak, gas, dan batu bara untuk kebutuhan transportasi diprediksi akan habis karena tidak komersial dalam waktu tidak lebih dari 50 tahun ke depan. Karena itu, tidak henti-hentinya perjuangan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) sudah dilakukan sejak dini agar menjadi prioritas negara dan bangsa dalam penyediaan kebutuhan energi baru terbarukan nasional ke depan.
Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, yakni sekitar 432-442 Giga Watt (GW) yang terdiri dari energi surya, air, bayu, biomassa, laut, dan panas bumi. Dibanding kapasitas terpasang listrik nasional baru sekitar 71 GW (status Juni 2020), potensi listrik EBT tersebut baru sekitar 10 GW yang termanfaatkan (2,3 persen).
Khusus untuk EBT yang bersumber dari PLTP, kapasitas listrik yang terpasang di seluruh Indonesia masih baru mencapai 2,13 GW (Juni 2020). Padahal Indonesia memiliki potensi listrik panas bumi yang sangat besar, yakni sekitar 23,9 GW (KESDM, 2020). Oleh karena itu pemerintah terus merencanakan program pengembangan PLTP yang masif untuk jangka pendek dan panjang. Hingga 2025, kapasitas terpasang listrik PLTP dicanangkan menjadi 7,24 GW. Sedangkan pada 2050 kapasitas terpasang PLTP diharapkan telah naik menjadi 17,60 GW.
Menilik besarnya target pengembangan listrik PLTP, PT Geo Dipa Energi (Persero) sebagai satu-satunya BUMN yang fokus dalam pengembangan PLTP nasional memiliki banyak penugasan pemerintah untuk berperan, berkontribusi dan sekaligus tumbuh berkembang. Berbagai strategi dan kebijakan, serta program ke arah pencapaian target ambisius pemerintah harus dipersiapkan dan disusun secara seksama oleh pemerintah dan DPR, terutama dalam perbaikan regulasi terkait tarif, pola kerja sama, investasi, subsidi, alokasi anggaran, dan lain-lain. Sejalan dengan itu, Geo Dipa pun akan terus ikut berpartisipasi baik saat penyusunan kebijakan dan aturan, maupun saat pelaksanaan program pemerintah.
Semua rencana, strategi, kebijakan dan regulasi di atas hendaklah disusun dengan tetap berpegang teguh pada amanat konstitusi. Penerbitan buku ini merupakan refleksi keinginan dan dukungan terhadap pengelolaan panas bumi yang sesuai konstitusi. Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan bahwa sumber daya alam (SDA) panas bumi yang juga sebagai bagian dari EBT harus dikuasai negara agar dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu aspek penting penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah bahwa pengelolaan SDA panas bumi harus berada di tangan BUMN.
Saat ini Indonesia memiliki 3 BUMN secara langsung maupun tidak langsung mengelola PLTP, yakni PT Pertamina (Persero) melalui subsidiary Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN (Persero) melalui subsidiary PLN Gas & Geothermal dan GeoDipa. Ketiga BUMN ini menguasai sekitar 42 persen produksi listrik PLTP nasional.
Hal ini tentu masih jauh dari kondisi ideal konstitusional yang didambakan rakyat agar kedaulatan energi kita menjadi tuan di negeri sendiri itu terwujud. Dengan kondisi tersebut, advokasi ke arah dominasi penguasaan PLTP oleh BUMN perlu terus dipertahankan, terutama dalam pelaksanaan PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang konsisten dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Apabila pemerintah tidak menguasai sektor ini maka sudah pasti sangat dikha watirkan oleh rakyat anak cucu mendatang yang menghendaki terkontrolnya harga listrik untuk rakyat.
Secara perlahan dan konsisten GeoDipa telah berpartisipasi memasok listrik dalam memenuhi kebutuhan nasional dengan mengoperasikan sejumlah PLTP. Dalam pelaksanaan tugas nasional tersebut, GeoDipa telah banyak menghadapi kendala operasional dan gugatan hukum dari sejumlah pihak yang hanya berorientasi bisnis tanpa peduli konstitusi. Paparan tentang perjalanan panjang GeoDipa menjadi BUMN pengelola PLTP, akan memahamkan pembaca bagaimana perjuangan BUMN Panas Bumi ini dalam mempertahankan potensi SDA panas bumi milik negara di wilayah kerja PLTP Dieng dan Patuha.
Keterlibatan swasta/asing dalam pengelolaan PLTP tampaknya masih belum konsisten dengan konstitusi. Sesuai konstitusi, partisipasi swasta/asing dalam pengelolaan PLTP mestinya selalu melibatkan BUMN. Swasta/asing harus berada di bawah kendali BUMN agar harga jual listrik dapat disepakati oleh pembeli yaitu PLN dengan cepat, tepat dan pada akhirnya pembangunan PLTP secara periodik dapat mudah terlaksana.
Pengalaman GeoDipa sebelum menjadi BUMN yang langsung fokus dalam pengembangan PLTP pada WKP Dieng dan Patuha justru menunjukkan hal sebaliknya. GeoDipa harus mengalami masalah hukum pada awalnya yang cukup panjang berhadapan dengan kontraktor swasta akibat di masa itu, GeoDipa masih berada pada manajemen Pertamina dan PLN. GeoDipa seolah berjuang sendiri tanpa dukungan langsung dari Pertamina dan
PLN padahal proses awalnya atas dukungan Pertamina dan PLN sebagai Pemegang Saham.
Masalah hukum GeoDipa dengan PT Bumi Gas Energy (BGE) ditulis dalam satu bab khusus dalam buku ini. Pengalaman GeoDipa berhadapan dengan swasta semacam itu perlu
menjadi catatan penting dalam pengelolaan PLTP di Indonesia agar kasus hukum tidak terulang kembali. Selain ini, dengan mendokumentasi kasus, Indonesian Resources Studies (IRESS) berharap GeoDipa dapat terhindar dari gugatan hukum di masa mendatang dan pihak-pihak yang berkepentingan di masa yang akan datang dapat memiliki pemahaman yang baik dari buku ini, yang sebagai referensi terbaik yang dapat dipertanggung
jawabkan. Karena memuat sejarah berdirinya GeoDipa dan upaya tak kenal lelah yang dilakukan oleh manajemen GeoDipa mempertahankan aset PLTP Dieng Patuha dari aneksasi oleh BGE, maka buku ini diberi judul “Buku Putih Geo Dipa Energi”.
Selain uraian khusus tentang kasus aset Dieng dan Patuha, buku ini juga membahas hal-hal terkait profil GeoDipa sebagai BUMN pengembang PLTP dan peran GeoDipa memenuhi kebutuhan listrik nasional melalui aset Dieng dan Patuha. Di samping itu, buku ini juga membahas tentang peran penting BUMN mengelola SDA panas bumi secara umum karena karakternya sebagai pelaksana pemerintah RI. Pengelolaan aset negara yang optimal adalah tanggung jawab pemerintah karena aset negara ini pantas dijadikan sebagai underlying aset dalam penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Oleh karena itu, kehadiran
pemerintah wajib menjaga aset negara agar dapat dikelola dengan optimal.
Penulis berharap, buku ini dapat menjadi referensi bagi pemangku kepentingan dan masyarakat dalam memahami kasus GeoDipa serta potensi dan pengelolaan panas bumi di Indonesia secara umum. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat menjadi
alat advokasi atas masih adanya berbagai permasalahan konstitusional dan hukum yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam strategis tersebut, sehingga hasilnya dapat
bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam rangka mempersiapkan dan merumuskan hal-hal esensial, serta menyusun sejumlah langkah advokasi yang perlu diperjuangkan dalam buku ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Riki F Ibrahim, selaku Direktur Utama GeoDipa yang telah berkenan meluangkan waktu untuk berdiskusi dan berbagi informasi tentang pengelolaan aset Dieng-Patuha oleh GeoDipa. Tak lupa, ucapan terima kasih dan apresiasi pula kami haturkan kepada Ibu Endang Iswandini, Corporate Secretary GeoDipa, dan Tim GeoDipa yang terdiri dari Bapak Budi Hendrawan, Bapak Dadang Syarif, Bapak Satry Nugraha, Bapak Kodar Hardjawinata, Bapak Djajang Sukarna, Bapak Aris Herdis Saputra, dan Bapak Septhian Wibysono yang telah memberi berbagai dokumen dan informasi detail terkait dengan profil GeoDipa serta permasalahan hukum aset Dieng dan Patuha.
Semoga, buku ini bermanfaat bagi pengembangan SDA panas bumi dan pemenuhan ketahanan dan kemandirian energi nasional ke depan. Rakyat Indonesia adalah pemilik sah SDA panas bumi dan mereka adalah pihak yang harus memperoleh manfaat terbesar. Untuk itu, pengelolaannya harus dilakukan secara optimal oleh BUMN.
“Akhirnya, kami berharap, semoga buku ini dapat menggugah kesadaran berbagai pihak guna terciptanya pengembangan dan eksploitasi SDA panas bumi yang konstitusional, sehingga ke depan pengelolaan energi baru terbarukan panas bumi dapat lebih banyak lagi pengembangannya menjadi PLTP dan hasilnya dapat bermanfaat bagi ketahanan serta kemandirian energi nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.