Jakarta, Ruangenergi.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) berkolaborasi bersama dalam meningkatkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui keterlibatan generasi milenial.
Dalam launching Gerilya (Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya), Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE), Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan, Gerilya lahir sebagai upaya mendorong keterlibatan generasi muda terutama mahasiswa dalam hal ini untuk mempercepat pemanfaatan energi baru terbarukan khususnya yang terkait dengan energi surya di Indonesia.
“Kolaborasi antara Kementerian ESDM dan Kemendikbud Ristek, ditandatangani dengan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Microcredential Study Independen Gerilya yang juga dilaksanakan pada pagi hari ini. Hal ini dilakukan sebagai langkah bersama mendukung kemajuan pendidikan di sektor energi bersih sekaligus mendorong tercapainya target pengembangan EBT di Indonesia,” ungkap Dadan, (13/08).
Ia mengungkapkan, dalam dekade terakhir dunia tengah berlomba untuk melakukan transisi energi menuju energi bersih. Begitupun dengan Indonesia, target ambisius bauran EBT ditorehkan sebesar 23% di 2025 dalam rangka mendukung Paris Agreement.
“Dalam jangka panjang, Pemerintah juga mendorong Net Zero Emission di sektor energi pada 2060 atau lebih awal,” katanya.
Dadan menyebutkan, potensi energi surya di Indonesia lebih dari 200 Giga Watt (GW), akan tetapi pemanfaatan sampai 2020 baru sekitar 153 Megawatt (MW).
Pasalnya, lanjut Dadan, dalam meningkatkan penggunaan EBT Pemerintah tidak dapat berjalan sendiri, melainkan dibutuhkan dukungan dari pelaku usaha, akademisi, asosiasi, serta para generasi muda termasuk mahasiswa.
“Energi Surya salah satu upaya yang dapat mencapai target 23% di 2025 tersebut. Di mana, Pemerintah menargetkan pengembangan PLTS pada tiga program utama, yakni PLTS Skala Besar; PLTS Terapung; dan PLTS Atap. Meski demikian, masih ada beberapa program lain dalam mendukung pemanfaatan PLTS untuk kegiatan produktif, misalnya Pompa Air Tenaga Surya; Penerangan Jalan Umum,” paparnya.
Dengan berpotensi sebesar 32,5 GW, kata Dadan, PLTS Atap sangat menjanjikan untuk terus dikembangkan, baik di rumah tangga, gedung perkantoran, industri, bisnis, dan bangunan-bangunan lainnya. Hingga saat ini tercatat sekitar 4.000 pelanggan yang telah memasang PLTA Atap. Di mana, jumlah tersebut meningkat lebih dari 1.000% jika dibandingkan pada 2018 yang hanya sekitar 350 pelanggan yang memasang PLTS Atap.
“Jika dibandingkan pada potensi yang ada dengan manfaat yang ada, angka tersebut masih sangat kecil. Pengembang yang sangat progresif tentunya hal ini menjadi peluang bisnis yang menjanjikan, terlebih didorong harga panel Surya yang kian ekonomis,” imbuhnya.
Selain itu, International Renewable Energy Agency (IRENA), mencatat bahwa penurunan biaya investasi PLTS lebih dari 80% dalam satu dekade terakhir.
Menjawab tantangan PLTS khususnya PLTS Atap, Dadan mengatakan, Gerilya diinisiasikan sebagai wadah pembekalan teknis dan praktik bagi mahasiswa untuk belajar dan terjun langsung, mulai dari perencanaan, instalasi, operasi, keekonomian, komersialisasi, hingga marketing dari PLTS Atap tersebut.
“Para mahasiswa yang ikut dalam program Gerilya akan mendapatkan tiga bulan pembekalan dan tiga bulan pengalaman di lapangan, di dalam pengembangan kompetensi mahasiswa secara spesifik maupun praktis yang dibutuhkan oleh dunia usaha, industri dan stakeholder,” bebernya.
Dengan pembekalan dan pengalaman yang didapat, para mahasiswa yang mengikuti program Gerilya juga menjadi bagian dari transisi energi, dan turut mengedukasi tentang pemanfaatan energi bersih, serta secara konkret berperan aktif dalam meningkatkan kapasitas terpasang PLTS Atap di Indonesia.
“Semoga program kerjasama dua kementerian semakin mendorong percepatan pemanfaatan energi surya di Indonesia, sekaligus meningkatkan kapasitas SDM khususnya para generasi milenial,” tutup Dadan.