Jakarta, ruangenergi.com- Dalam waktu dekat Kementrian ESDM akan menerbitkan aturan baru terkait pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap, sebagai revisi atas Permen ESDM No.49/2018.
Menurut Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana revisi dilakukan antara lain untuk menarik investasi PLTS, menggalakkan PLTS sebagai energi bersih yang semakin murah, menghemat tagihan listrik, dan mengejar target bauran EBT 23% pada 2025.
“Revisi Permen akan memberi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang besar, termasuk penyediaan lapangan kerja”,kata Dadan Kusdiana kepada ruangenergi.com, Senin(16/8)
Menurut Dadan, sejak kebijakan PLTS Atap diterbitkan pemerintah pada 2018 ada 350 pelanggan PLN yang mengoperasikan PLTS Atap di rumah dan kantor-kantor.
Sementara itu, Ketua Umum METI Surya Darma menuturkan,sejak digulirkannya Gerakan pemasangan Surya atap dilaukan melalui Gerakan Sejuta Surya Atap dengan harapan akan ada peningkatan pemasangan solar roof top dalam ukuran GW setiap tahun sehingga target pemasangan PLTS 6 GW tahun 2025 dapat segera terelisir.
Gerakan ini dicanangkan pada kegiatan Indo EBTKE Conex 2017 oleh METI bersama asosiasi energi terbarukan lainnya termasuk pemerintah dari kementerian ESDM, kementerian perindustrian, BPPT dan lain-lain. Pemasangan Surya atap ini memang terus diupayakan agar dipayungi oleh regulasi untuk memberikan kepatian bagi para konsumen dan juga sekaligus produsen listrik individual.
Sejak saat itulah gencar dilakukan upaya untuk membahas agar adanya draft Peraturan Menteri tentang PLTS Atap untuk dibahas Bersama sebagai kebiasaan untuk konsultasi public.
Tetapi sejak Menterinya dijabat Jonan, kelihatannya beliau berpendapat bahwa Peraturan Menteri tidak perlu dikonsultasikan ke publik dan akhirnya diterbitkanlah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49/2018, tentang penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap oleh konsumen PLN yang diterbitkan pada 15 November 2018.
Para pengguna hanya menerima sosialisasi Permen tersebut untuk dilaksanakan. Berbagai tanggapan kemudian muncul baik dalam forum sosialisasi maupun sesudahnya untuk implementasi.
Bahkan METI dan Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) mengeluhkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49/2018 tersebut dinilai menghambat pengembangan PLTS Atap di Indonesia. Memang harapan terbitnya Permen tersebut untuk mempercepat pemasangan solar roof top tidak terelisasi.
Sampai saat ini terlihat target sejuta Surya atap, masih sangat jauh dari harapan, walaupun kampanyenya sangat massif. Saat ini tercatat sekitar 4.000 pelanggan yang telah memasang PLTS atap.
Jumlah ini sebetulnya meningkat lebih dari 1.000 persen dibandingkan dengan awal 2018 hanya 350 pelanggan yang memasang.
Salah satu satu unsur penyebab yang juga mendapat tantangan adalah salah satu ketentuan yang merugikan pengguna energi ramah lingkungan ini terkait penghitungan ekspor dan impor energi listrik dari sistem PLTS Atap.
Pasal 6 Ayat (1) menyebutkan, penghitungan energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikalikan 65% atau 0,65. PLN terlalu banyak mengambil keuntungan dalam hal ini sampai 35%. Dengan kondisi ini, tingkat pengembalian investasinya menjadi lebih lama dari hitungan ideal.
Dengan perhitungan nilai ekspor impor 65% atau 0,65, maka tingkat pengembalian investasi untuk pemasangan panel surya menjadi 11–12 tahun.
Sedangkan jika tarif ekspor 100% atau 1:1 berarti tarif listrik yang dijual ke sambungan PLN sama dengan tarif yang dibeli dari sambungan PLN.
Pengembalian investasi memakan waktu delapan tahun. Ini angka yang idela bagi investasi, 1 banding 1, atau 100%.
Bahkan beberapa negara yang mendorong pemasangan solar roof top, justru memberikan insentif dengan menghitung perusahaan listrik membayar sampai 120% jika ada yang mau pasang PLTS roof top.
“Ini namnya insentif, bukan disinsentif, sehingga pengembalian investasi akan lebih cepat dan akan mendorong pemasangan yang lebih masif”, tetang Surya Darma
Sejak saat itulah, upaya untuk merevisi Permen tersebut terus didorong. Bahkan Ketika Dirjen EBTKE masih dijabat oleh pak Rida Mulyana, kemudian Sutyastoto dan sekarang Dadan Kusdiana, menerima baik usulan revisi itu.
Usulan mulai dibahas kemungkinan revisi Permen No.49/2018 itu. Bahkan pada akhir tahun 2020, sudah mulai ada pembicaraan awal. Dan lebih serius lagi, Dirjen EBTKE sudah meminta masukan dari METI dan berbagai organisasi energi terbarukan terkait, termausk PLN untuk membahas draft revisi Permen tersebut.
Melalui Direktur Aneka EBT Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, sejak Januari 2021 kemudian mulai membahas draft dan sudah difinalkan dengan melibatkan stakeholders termasuk PLN untuk revisi Peraturan Menteri(Permen) ESDM terkait dengan regulasi PLTS Atap tersebut. Konon kabarnya, draft Revisi Permen PLTS Atap ini sedang proses finalisasi harmonisasi dengan Kemenkumham.
“Kami sendiri dari MTI Bersama teman-teman Asosiasi lain masih menunggu apakah ada perkembangan. Dalam revisi itu sudah dibahas posisi impor-ekspor power dari PLTS Atap dengan PLN”,jelasnya
Memang sekarang ada insentif jika perbandingan itu disetujui, yaitu 1 banding 1, atau setidaknya lebih tinggi dari ketentuan yang ada saat ini, yang hanya 65%.
Beberapa kendala yang selama ini dikeluhkan seperti kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan untuk diperpanjang waktunya dari semula hanya pada bulan ke-3.
Nanti pengguna PLTS atap juga tidak hanya dibatasi hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga dapat diterapkan bagi pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN. Hal ini ada perluasan pelanggan.
Untuk memudahkan proses pemasangan, diusulkan juga agar jangka waktu permohonan PLTS Atap lebih singkat. Kalau perlu PLN juga bisa menerima pengaduan Sistem PLTS Atap untuk menindaklanjuti keluhan dan pengaduan atas implementasi PLTS Atap.
Dengan revisi ini, ada beberapa pihak menilai jika revisi mengenai tarif ekspor impor listrik dari PLTS ke PLN diubah menjadi 100% akan mengancam sistem kelistrikan PLN dan membuat BPP listrik PLN membengkak. Karena itu bagian dari insentif, semestinya pandangan dan cara berpikir terhadap masuknya PLTS atap juga harus dikampanyekan secara massif agar tidak memiliki pandangan negative.
Termasuk bagi PLN, agar tidak hanya memandang listrik yang murah hanya dari batubara karena faktanya Ketika harga batu naik seperti sekarang ini, kenapa tetap minta harga batubara di patok pada 70 dollars per ton.
“Harus fair treatment.Dan tidak benar bahwa perbandingan harga 1 banding 1 itu sama dengan makan di lahan orang. Ini adalah bentuk insentif dari pemerintah”,tambah Surya
Buktinya saat harga batu bara naik harganya seperti sekarang, pemerintah juga meneetapkan harga batu bara 70 dollar per ton agar dapat harga murah. Ini kan berarti menghilangkan pendapatan negara yang sangat significant. Justru yang terjadi adalah disinsenif terhadap perilaku pengguna energi.
Seharusnya kita berupaya melakukan dan memperbaiki perilaku masyarakat dalam menggunakan energi. Jia saat harga energi seperti batau bara naik, masyarakat juga perlu dididik bahwa energi itu penting dan memang tidak mudah.
“Kami tentu saja mengapresiasi kesimbangan pola perubahan yang dilakukan pemerintah dengan merevisi Permen 49/2018 dan tentu juga berharap agar pola penetapan harga tertinggi pada batu baru itu dihilangkan agar mendidik bagi masyarakat dan juga bagi PLN karena sewaktu-waktu harga listrik dair batubara pun bisa mahal”,pungkas Surya Darma