Diskusi online IESR

Guna Peroleh Harga Listrik yang Kompetitif, IESR : Indonesia Perlu Benahi Pengadaan PLTS Skala Besar

Jakarta, Ruangenergi.com – Upaya memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sesuai dengan komitmen Pemerintah dalam Perjanjian Paris, pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) skala besar menjadi pilihan banyak negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Dalam sebuah diskusi online, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan perlu dilakukan pengadaan PLTS skala besar yang mempunyai target yang jelas, proses yang transparan serta didukung kebijakan dan kelayakan finansial proyek.

Hal tersebut agar target penurunan emisi dengan pemanfaatan energi surya terpenuhi serta harga jual listrik PLTS menjadi jJauh lebih murah.

Ia mengungkapkan, sejak 2013, pengadaan PLTS skala besar di Indonesia dilakukan dengan sistem pelelangan (tender). Hanya saja, cara ini belum cukup efektif menurunkan harga beli Iistrik dari PLTS.

Dalam studi terbaru yang dilakukan IESR berjudul “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia”, IESR menemukan bahwa salah satu penyebab kurang efektifnya sistem lelang PLTS skala besar di Indonesia adalah belum adanya perencanaan di sistem ketenagalistrikan untuk memanfaatkan energi surya skala besar dalam orde gigawatt.

Tentunya hal tersebut sangat mempengaruhi volume dan jumlah proyek PLTS yang hendak dilelangkan.

Fabby melanjutkan, selain itu, praktik pengadaan belum cukup transparan sehingga menyulitkan calon penawar untuk ikut serta dalam proses pelelangan. Sebab, katanya, selama ini lelang tenaga surya di Indonesia masih untuk kapasitas yang berukuran kecil tersebar jarang, dan biasanya dilakukan dalam lelang putus/individual, sehingga memberikan sinyal buruk bagi investor atau lembaga keuangan untuk menyediakan modal yang dibutuhkan untuk proyek tersebut.

Tak hanya itu, kebijakan dan regulasi pendukung di Indonesia terhadap pembangunan PLTS skala besar terutama dalam proses pelelangan, masih kurang menarik atau bahkan tmenghambat pengembangan instalasi surya.

“Pelelangan PLTS skala besar di Indonesia sangat terpaku pada ketentuan tata cara pelelangan barang dan jasa yang berlaku juga untuk PLN yartu tender umum tender terbatas, penunjukan langsung dan pengadaan langsung, dengan berbaga ketentuan tambahan misalnya syarat TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri),” ungkapnya.

Ia menambahkan, metode pelelangan ini kurang cocok untuk mendapatkan harga yang sangat kompetitif untuk pengembangan PLTS skala besar. Apalagi proses pengadaan juga sangat ditentukan oleh proses lelang PLN, yang tidak terjadwal rutin, dan ukuran proyek yang relatif masih kecil di bawah 100 MW per unit.

Fabby Tumiwa

“Perlu dipikirkan perubahan cara lelang untuk PLTS sehingga mendapatkan harga yang kompetitif, kualitas yang prima, dan proyek yang bankable,” imbuh Fabby.

Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu belajar pada keberhasilan sejumlah negara yang menerapkan tata cara pelelangan (auction) untuk PLTS skala besar, seperti : India, Brasil, dan Uni Emirat Arab (UEA). Ketiga negara ini mampu mencatatkan beberapa harga pemecah rekor yang ditawarkan oleh penawar lelang.

Penulis Laporan “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices In Indonesia”, Daniel Kurmawan, mengatakan, persamaan dari ketiga negara tersebut adalah adanya target yang terntegrasi dalam perencanaan sistem ketenagalistrikan dan pelelangan yang dilakukan secara terjadwal.

“Hal yang paling penting untuk mendorong perkembangan PLTS skala besar adalah perencanaan sistem ketenagalistrikan yang memprioritaskan PLTS dalam rencana penambahan kapasitas pembangkit yang kemudian disertai dengan agregasi permintaan (kapasitas yang akan ditawarkan) untuk kemudian dilelangkan secara terjadwal dan terencana dalam jangka menengah (3-5 tahun, misalnya) dan tidak sporadis Skala keekonomian proyek juga menjadi kunci dalam penurunan harga penawaran suatu lelang PLTS IPP,” terang Daniel.

Menurutnya, adanya standar lelang yang transparan, diikuti dengan jadwal pelelangan yang konsisten terbukti membantu menarik jumlah penawaran. Selain itu, ketiga negara tersebut juga menyediakan akses informasi proses pelelangan untuk umum.

Komitmen kuat ketiga negara tersebut dalam mendukung pengembangan tenaga surya ditunjukkan dengan mendirikan lembaga baru atau meningkatkan kapasitas lembaga yang sudah ada yang bertugas melakukan seluruh proses pengadaan.

Pemerintah ketiga negara juga berperan penting dalam pengurangan risiko proyek dan biaya transaksi untuk mendorong penawaran menjadi semakin kompetitif. Ditinjau dari sisi regulasi pendukung, mereka juga memuat persyaratan seperti memasukkan kearifan lokal sehingga selain dapat mendorong pengembangan solar skala besar, juga melindungi industri lokal.

“IESR merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia perlu mereplikasi keberhasilan ketiga negara tersebut yaitu dengan. pertama menetapkan target yang ambisius dan jelas seperti program surya nasional yang tenntegrasi dengan perencanaan sistem ketenagalistnkan untuk dilakukan pengadaan melalui pelelangan terencana (systematic auction),” katanya.

Ia menuturkan, program surya nasional yang terintegrasi dan dapat dieksekusi menunjukkan komitmen pemerintah untuk pengadaan PLTS skala besar, mengirimkan sinyal positif kepada pemain internasional jangka panjang dalam energi surya, dan menciptakan pasar PLTS yang kompetitif di Indonesia.

“Tentu saja program tersebut tidak harus terbatas hanya untuk PLTS skala besar atau PLTS IPP (seperti PLTS ground-mounted dan PLTS Terapung) tetapi dapat juga diperluas ke segmen lain seperti PLTS terdistribusi (PLTS atap), sebagai wujud pelaksanaan amanat Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 untuk memasang solar rooftop pada gedung gedung pemerintah, maupun PLTS di luar jaringan (off-grid),” paparnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan, rekomendasi kedua yakni mendukung pengembangan proyek PLTS untuk mengurangi risiko proyek dan meningkatkan peluang kredit usaha dari bank (bankabilitas).

Selanjutnya, yang ketiga yaitu menetapkan standar lelang dan PPA (power purchase agreement) yang memenuhi persyaratan bank (bankable), serta mengubah klausul terkait biaya interkoneksi (komponen E) dalam Peraturan Menteri ESDM 50/2017 untuk mempercepat penandatanganan PPA.

“Keempat, menciptakan pasar lelang PLTS terpisah untuk proyek dengan ketentuan memasukkan kearifan lokal. Kelima, melakukan sentralisasi proses pelelangan dan mengalihkan kewenangan lelang kepada suatu juru lelang independen,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *