Plts

Skema Ekspor-Impor PLTS Atap Dinilai Rugikan PLN, Ini Kata Pemerintah

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.comKementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa dalam draf Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 Pemerintah berupaya menambah porsi pembangkit listrik yang bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 5 Gigawatt (GW).

Untuk itu, Pemerintah mendorong pengembangan pembangkit listrik yang bersumber dari energi bersih, salah satunya yakni Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

“Dari sisi kapasitas memang ini masih didiskusikan yang masuk RUPTL berapa GW, tapi angkanya sudah di 5 GW akan masuk di RUPTL untuk 10 tahun ke depan,” jelas Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, beberapa waktu lalu, (23/08).

Menurutnya, energi surya mampu mengakselerasi pertumbuhan EBT di Indonesia sekaligus mentransformasi kebutuhan energi bersih di masa mendatang.

Sejumlah upaya untuk menjawab tantangan pengembangan PLTS yakni menciptakan pasar PLTS dengan meningkatkan kapasitas pengembangan dalam kebijakan dan perencanaan, meningkatkan kualitas modul surya produksi dalam negeri melalui SNI Wajib sesuai Permen ESDM No 2/2021, dan bersama Kementerian Perindustrian melakukan fasilitasi terkait kebijakan TKDN antara pengembang dan industri dalam negeri.

Dadan mengatakan, pengembangan PLTS Atap dilakukan dengan target mencapai 3,61 GW atau setara menurunkan emisi GRK 5,4 juta ton CO2.

“Kami sudah melakukan kajian melihat dari sisi pemanfaatan ekspor-impor dengan prinsip 1:1,” jelas Dadan.

Dadan meluruskan prosedur ekspor-impor listrik PLTS Atap dengan prinsip dimaksud (1:1). Berdasarkan hasil survei internal Kementerian ESDM, hasil produksi listrik dari PLTS Atap tidak seluruhnya masuk ke jaringan PT PLN (Persero).

“Misalnya dari produksi listrik 100 kWh, kalau di rumah tangga hanya 24% masuk ke PLN. Sementara untuk industri, angkanya lebih kecil lagi antara 5-8% karena di produksi sendiri,” tegasnya.

Ia pun menampik skema ekspor-impor pada PLTS Atap dinilai dapat finasial PLN terganggu.

“Jadi, PLN bukan mengalami kerugian, tapi sisi pendapatannya berkurang. Pemerintah sudah menghitung itu. Makanya kami dorong untuk melakukan perbaikan dari sisi jam operasi pembangkit,” tegas Dadan.

Dadan mengatakan, pemerintah meyakini bahwa pangsa pasar PLTS akan tumbuh lebih cepat sehingga membantu percepetan bauran EBT 23% di 2025.

Anggota Komisi VII DPR RI

Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto khawatir rancangan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap berpotensi merugikan PLN.

Mulyanto meminta agar rancangan peraturan tersebut segera disempurnakan. Hal itu dilakukan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

“Isi rancangan Permen (Permen ESDM PLTS Atap) yang ada sekarang ini masih sumir dan berpotensi merugikan PLN. Salah satunya tentang ketentuan harga jual-beli (ekspor-impor) listrik dari pengguna tenaga surya ke PLN,” kata Mulyanto.

Dia menegaskan, dalam rancangan permen yang baru tersebut, Menteri ESDM mewajibkan PLN membeli listrik dari pengguna PLTS Atap setara dengan harga jual listrik PLN ke masyarakat. Besaran harga jual dan beli listrik itu setara 1:1.

“Ketentuan ini bagus untuk mendorong produksi listrik EBT. Namun kalau yang menikmati regulasi ini pelanggan di wilayah Jawa-Bali-Sumatera yang surplus listrik, apalagi di perumahan mewah di kota besar, maka selain PLN akan semakin merugi, juga melukai rasa keadilan,” katanya.

“Surplus listrik makin bertambah, mesin argo TOP (take or pay) makin tinggi, PLN juga harus bayar tambahan selisih ekspor-impor listrik PLTS sebesar 35% tarif.  Karena sekarang ini tarif ekspor-impor sama dengan 1 : 0,65.  Sementara yang menikmati adalah rumah mewah orang kaya di kota,” papar Mulyanto kembali.

Dia menuturkan bahwa harusnya dalam aturan tersebut ada batasan. Misalnya, hanya berlaku di daerah minus listrik dan diproduksi oleh lembaga sosial seperti pesantren, lembaga pendidikan, rumah sakit dan sejenisnya, bukan dari rumah mewah di kota yang surplus listrik. Dengan demikian, maka ketentuan jual-beli listrik PLTS Atap ini akan lebih tepat sasaran.