Ketum METI: Revisi Permen PLTS Atap Dukung Capaian Bauran Energi 23%

Jakarta, ruangenergi.com- Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia(METI) Surya Darma menyatakan, terkait adanya pandangan sebagian masyarakat yang disuarakan oleh beberapa kalangan terhadap rencana pemerintah merevisi Permen No.49/2018, METI telah menyampaikan surat langsung kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta dukungan agar Permen tersebut dapat segera direvisi.

Menurut Surya Darma, persoalannya adalah regulasi ini tidak memberikan daya tarik terhadap investasi sebagaimana diharapkan. Sebagaimana diketahui, Permen ESDM tersebut dikeluarkan dalam rangka mendukung dan mendorong penggunaan PLTS atap secara masif untuk mencapai target bauran energi nasional 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Bahkan upaya penggunaan PLTS atap secara masif dilakukan melalui gerakan sejuta surya atap yang dicanangkan METI bersama Asosiasi energi terbarukan dan Kementerian ESDM, BPPT, Kementerian Perindustrian dan lain-lain pada acara Indo EBTKE Conex 2017.

Tetapi kenyataannya, sejak digulirkannya Gerakan Sejuta Surya Atap dengan harapan akan ada peningkatan pemasangan solar roof top dalam ukuran GW setiap tahun sehingga target pemasangan PLTS 6 GW tahun 2025 dapat segera terealisir. Pemasangan Surya atap ini memang terus diupayakan agar dipayungi oleh regulasi untuk memberikan kepastian bagi para konsumen dan juga sekaligus produsen listrik individual.

Sejak diterbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49/2018, tentang penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap oleh konsumen PLN yang diterbitkan pada 15 November 2018, yang waktu itu tidak dilakukan meaui konsultasi publik, ternyatatidak mendapat dukungan penuh karena regulasinya yang tidak menarik investasi dan jaminan bagi pengguna.

Para pengguna hanya menerima sosialisasi Permen tersebut untuk dilaksanakan. Berbagai tanggapan kemudian muncul baik dalam forum sosialisasi maupun sesudahnya untuk implementasi. Bahkan METI dan Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) mengeluhkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49/2018 tersebut dinilai menghambat pengembangan PLTS Atap di Indonesia. Sampai saat ini terlihat target sejuta Surya atap, masih sangat jauh dari harapan, walaupun kampanyenya sangat massif.

Lebih lanjut dia menjelaskan, saat ini sudah lebih 4 tahun regulasi ini ditetapkan, tercatat sekitar 4.000 pelanggan yang telah memasang PLTS atap dengan total kapasitas sekitar 35 MW. Salah satu satu unsur penyebab yang juga mendapat tantangan adalah salah satu ketentuan yang merugikan pengguna energi ramah lingkungan ini terkait penghitungan ekspor dan impor energi listrik dari sistem PLTS Atap. Pasal 6 Ayat (1) menyebutkan, penghitungan energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikalikan 65% atau 0,65.
Dengan kondisi ini, tingkat pengembalian investasinya menjadi lebih lama dari hitungan ideal. Dengan perhitungan nilai ekspor impor 65% atau 0,65, maka tingkat pengembalian investasi untuk pemasangan panel surya menjadi 11–12 tahun.

Sedangkan jika tarif ekspor 100% atau 1:1 berarti tarif listrik yang dijual ke sambungan PLN sama dengan tarif yang dibeli dari sambungan PLN, maka pengembalian investasi bisa lebih cepat menjadi sekitar delapan tahun. Ini angka yang ideal bagi investasi, 1 banding 1, atau 100%.

Bahkan beberapa negara yang mendorong pemasangan solar roof top, justru memberikan insentif dengan menghitung perusahaan listrik membayar sampai 120% jika ada yang mau pasang PLTS roof top. Ini namnya isnentif, bukan disinsentif, sehingga pengembalian investasi akan lebih cepat dan akan mendorong pemasangan yang lebih masif. Karena itulah, METI juga mengapresiasi upaya Presiden yang terus mengupayakan pelaksanaan ekonomi hijau dengan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan.

“Upaya untuk merevisi Permen tersebut yang telah dibahas bersama pemangku kepentingan energi terbarukan perlu terus didorong”, kata Surya Darma dalam keterangannya kepada ruangenergi.com, Jum’at(3/8/21)

Dirjen EBTKE juga sudah meminta masukan dari METI dan berbagai organisasi energi terbarukan terkait, termausk PLN untuk membahas draft revisi Permen tersebut. Melalui Direktur Aneka EBT Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, sudah membahas dan memfinalkan dengan melibatkan stakeholders termasuk PLN untuk revisi Peraturan Menteri(Permen) ESDM terkait dengan regulasi PLTS Atap tersebut.
Draft Revisi Permen PLTS Atap yang audah selesai tahap harmonisasi dengan Kemenkumham, seharusnya sudah pantas dipercepat agar bisa diimplementasikan segera.

METI bersama konsumen dan Asosiasi lain masih menunggu dan berharap ada perubahan positif dengan terbitnya revisi Pernen tersebut, karena sudah dibahas posisi impor-ekspor power dari PLTS Atap dengan PLN.

Memang disadari bahwa jika regulasinya menarik maka akan ada penggunaan PLTS atap yang masif sehingga berpotensi mengurangi pendapatan PLN. Tetapi bagi negara, harus dilihat akan ada beberapa dampak posiaitif dari efek ganda peningkatan PLTS atap yaitu akan tumbuhnya industri hulu dalam negeri yang lebih cepat berikut bisnis ikutannya, terbukanya lapangan kerja baru, masuknya investasi baru yang sangat signifikan, membantu penurunan emisi GRK yang menjadi komitmen Indonesia sesuai Perjanjian Paris serta membantu pencapaian target 23% energi terbarukan pada tahun 2025.

Hal ini didukung karena nanti pengguna PLTS atap juga tidak hanya dibatasi hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga dapat diterapkan bagi pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN.
Ini adalah bentuk insentif dari pemerintah. Buktinya saat harga batu bara naik harganya seperti sekarang, pemerintah juga meneetapkan harga batu bara 70 dollar per ton agar dapat harga murah. Ini kan berarti menghilangkan pendapatan negara yang sangat significant. Justru yang terjadi adalah disinsenif terhadap perilaku pengguna energi.

“Kami tentu saja mengapresiasi kesimbangan pola perubahan yang dilakukan pemerintah dengan merevisi Permen 49/2018 dan tentu juga berharap agar pola penetapan harga tertinggi pada batu baru 70$ per ton itu dihilangkan untuk membuat fair treatment di sektor energi. Bagi PLN juga diharapkan akan ada listrik energi terbarukan yang bertambah, tanpa harus menambah investasi. Hal ini akan berdampak pada penurunan subsidi”, pungkas Surya Darma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *