Jakarta, ruangenergi.com – Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Profesor Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa restrukturisasi dan reorganisasi di PT Pertamina (Persero) akan membuat operasional BUMN energi tersebut menjadi lebih lincah dan efisien.
“Tak ada undang-undang (UU) yang dilanggar dalam restrukturisasi dan rencana initial public offering (IPO) subholding Pertamina, baik UU Migas maupun UU Perseroan Terbatas. Menurut saya, masih masuk koridor aturan tersebut,” kata Hikmahanto di Jakarta, Rabu (18/6).
Menurut dia, sesuai Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pertamina merupakan operator yang menjalankan usaha. Artinya, kondisi Pertamina saat ini berbeda dengan Pertamina sebelumnya yang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1971.
Pasalnya, kata dia, ketika berdasarkan UU sebelumnya itu, Pertamina adalah perusahaan negara yang mewakili negara. “Sebagai operator sesuai UU Nomor 20 Tahun 2001, tentu Pertamina boleh mencari untung yang tidak hanya untuk pengembangan Pertamina sendiri, tetapi juga masuk sebagai dividen kepada negara,” papar dia.
Terkait dengan restrukturisasi dan IPO subholding, kata Hikmahanto, memang bertujuan untuk mencari keuntungan yang pada akhirnya akan disetorkan juga kepada perusahaan yang kemudian BUMN itu akan menyetorkannya ke negara.
Demikian juga dengan rencana IPO di level subholding, menurut dia, juga tidak melanggar aturan, berbeda jika dilakukan di level holding, karena harus melalui persetujuan DPR. “Aturan di subholding, tentu lebih fleksibel dibandingkan aturan di level holding,” katanya melalui keterangan tertulis.
Lebih jauh Hikmahanto mengatakan, bahwa restrukturisasi dan rencana IPO subholding, justru akan membuat Pertamina menjadi lincah dan efisien. “Jadi, kalau sebelumnya perintah direktur holding harus melewati jenjang yang panjang, sekarang perintah tersebut tinggal dijalankan subholdingnya,” ucapnya.
Memurutnya, panjangnya rentang perintah pada struktur sebelumnya, karena selain Pertamina memiliki jajaran direksi di tingkat holding, juga terdapat direksi lain pada anak perusahaan.
“Jadi, ada redudansi, pengulangan. Saya melihat dari perspektif hukumnya. Supaya tidak ada redudansi, maka di holding memang untuk penentuan kebijakan yang strategis. Sedangkan operasional dilakukan oleh perusahaan-perusahaan subholding,” papar Hikmahanto.
Dengan demikian, pembentukan subholding memang membuat rentang kendali lebih mudah, tambahnya, dari hukumnya, tanggung jawab juga lebih mudah. Hal ini terjadi, karena berbeda dengan luar negeri dengan holding hanya memegang saham, holding di Indonesia juga harus melakukan operasi.
Dengan subholding, maka yang melakukan operasi adalah perusahaan-perusahaan di bawahnya, yaitu melalui subholding tadi. “Jadi, ini yang akan dikuatkan,” katanya.
Pembentukan subhloding, menurut Hikmahanto, juga membuat BUMN tersebut lebih leluasa mendapatkan pendanaan. Apalagi, ke depan subholding tersebut akan memasuki pasar bursa. “Karena salah satu tujuan masuk pasar modal, adalah untuk mendapatkan dana segar,” kata dia.
Terkait rencana go public tersebut, Hikmahanto menyatakan masyarakat hendaknya juga tidak perlu khawatir, sebab, yang akan masuk ke bursa adalah subholding, bukan Pertamina sebagai holding, yang terdapat 100 persen kepemilikan negara.
“Dengan IPO seperti itu (melalui subholding), maka saham negara tetap 100 persen. Tetapi yang subholding ini, yang operasional, bisa mendapatkan uang dari pasar modal,” pungkasnya.(Red)