Jakarta, ruangenergi.com – Dalam dokumen yang diterima ruangenergi.com menyebutkan, Pemerintah terus berupaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% pada 2030 dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan internasional.
Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Pemerintah berkomitmen menjaga suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat Celcius. Untuk itu, RUPTL tersebut kini dikenal sebagai Green RUPTL.
Sebagaimana telah dikeluarkannya Undang-undang No. 16 Tahun 2016
tentang Pengesahan Paris Agreement, RUPTL mendukung komitmen Pemerintah
dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030
(terhadap proyeksi emisi skenario business as usual). Di mana sektor
ketenagalistrikan merupakan bagian dari komitmen nasional tersebut.
Sesuai misi PLN ”Menjalankan Kegiatan Usaha yang Berwawasan Lingkungan”,
PLN mempunyai kebijakan untuk penurunan emisi GRK sebagai berikut:
1. Memprioritaskan pengembangan energi baru dan terbarukan. PLN memprioritaskan pemanfaatan pembangkit EBT sebagai upaya untuk penurunan emisi GRK. Hal ini sangat terkait dengan upaya untuk memenuhi kebijakan Pemerintah terkait target bauran energi dari EBT minimal sebesar 23% pada tahun 2025, dimana PLN memproyeksikan akan ada tambahan pembangkit EBT yang terakumulasi sebesar 10 GW hingga tahun 2025 dan 15 GW hingga tahun 2029.
2. Pengalihan bahan bakar (fuel switching) dan pemanfaatan gas buang Untuk mengurangi pemakaian BBM, PLN berencana mengalihkan pemakaian BBM ke gas pada PLTG, PLTGU dan PLTMG serta penggunaan campuran biofuel pada PLTD. Langkah fuel switching secara langsung juga akan mengurangi emisi GRK karena faktor emisi gas lebih rendah daripada faktor emisi BBM.
Fuel switching juga diterapkan pada PLTU mengingat bahwa target bauran energi di pembangkitan tenaga listrik untuk batubara paling besar sekitar 55% pada tahun 2025 sesuai dengan RUKN 2019-2038, maka penurunan pemakaian batubara dan peningkatan pemakaian gas telah dipertimbangkan dalam RUPTL ini. PLN juga memanfaatkan tenaga listrik dari gas buang industri dengan sistem heat recovery steam gas (HRSG), misalnya di Kalimantan.
3. Menggunakan teknologi rendah karbon dan efisien Penyediaan tenaga listrik PLN hingga tahun 2029 masih akan didominasi oleh pembangkit berbahan bakar fosil, terutama batubara. PLN menyadari bahwa pembakaran batubara menghasilkan emisi GRK yang relatif besar, sehingga diperlukan upaya penurunan emisi GRK yang bersumber dari PLTU.
Kebijakan PLN terkait hal ini adalah PLN hanya akan menggunakan boiler supercritical, ultra-supercritical untuk PLTU batubara yang akan dikembangkan di pulau Jawa dan Sumatera serta teknologi yang lebih efisien di Indonesia Timur sehingga dapat mengurangi penggunaan batubara. Selain itu dengan mulai berkembangnya pemanfaatan coal bed methane (CBM), PLN berkeinginan untuk memanfaatkan gas non-konvensional ini apabila telah tersedia dalam jumlah yang cukup dan harga yang ekonomis.
Lebih jauh lagi, PLN juga mempertimbangkan penggunaan teknologi Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) dan Carbon Capture and Storage (CCS) untuk mengurangi emisi GRK secara signifikan, namun implementasinya menunggu setelah teknologi tersebut matang secara komersial.
4. Pemanfaatan bahan bakar berbasis biomasa sebagai sumber energi Merujuk pada dokumen ”Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Volume 4 – Agriculture, Forestry and other Land Use” yang dipublikasikan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2003, emisi GRK yang ditimbulkan akibat pembakaran biomasa tidak diperhitungkan ke dalam sektor pembangkitan listrik di dalam inventarisasi emisi GRK nasional, melainkan dialokasikan ke dalam sektor kehutanan (the land use, land-use change and forestry, atau LULUCF). Sejalan dengan upaya memenuhi target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada tahun 2025, PLN berencana memanfaatkan lebih banyak bahan bakar berbasis biomasa untuk digunakan secara bersama (co-firing) dengan batubara pada beberapa PLTU-PLTU existing dan rencana. Dengan demikian, penggunaan biomasa sebagai bahan bakar ini secara langsung akan dapat menurunkan emisi GRK di sektor pembangkitan listrik Indonesia di masa mendatang. Merujuk ke Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, Pemerintah bermaksud untuk menerapkan instrumen pasar karbon nasional pada Tahun 2024, dan berencana untuk menerapkan pembatasan emisi gas rumah kaca bagi kegiatan pembangkit listrik. PLN sedang melaksanakan kajian untuk menganalisa potensi dampak dari penerapan pembatasan emisi gas rumah kaca terhadap perusahaan, dan mengkaji upaya penurunan emisi yang dapat dilakukan.
Selanjutnya, dalam rangka meminimalkan dampak lingkungan dari kegiatan pembangkit listrik berbahan bakar batubara, PLN telah melakukan upaya-upaya untuk pengendalian pencemaran udara (emisi) yang timbul, antara lain:
1. Pemasangan electrostatic precipitator (ESP) yang berfungsi untuk menangkap debu/abu/partikulat dari pembakaran batubara sehingga emisi ke lingkungan sudah sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang baku mutu emisi.
2. Pemasangan Flue Gas Desulphurization (FGD) pada PLTU Tanjung Jati B yang berfungsi untuk mengurangi gas SOx dari pembakaran batubara sehingga emisi SOx ke lingkungan berada di bawah bakumutu emisi yang ditetapkan Pemerintah. Kedepannya akan dijadwalkan pemasangan FGD di PLTU batubara yang lainnya, dalam rangka memenuhi regulasi baku mutu emisi terbaru yang lebih ketat, yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019, selanjutnya disebut Permen LHK No. 15 Tahun 2019.
3. Menggunakan teknologi Low Nox burner untuk pembangkit baru dengan fungsi mengontrol NOx selama pembakaran sehingga dapat mengurangi NOx dari pembakaran batubara, dan ke depan akan direncanakan serta dijadwalkan pemasangan Selective Catalytic Reduction (SCR) untuk pembangkit existing sehingga bisa memenuhi Permen LHK No. 15 Tahun 2019.
4. Untuk meminimalisasi potensi debu dan ash yang terbang ke lingkungan sekitar, maka dilakukan beberapa langkah sebagai berikut:
a. Melakukan compacting batubara pada kegiatan coal handling di stockpile.
b. Melakukan penyiraman debu pada area stock pile batubara dan landfill.
c. Melakukan program penghijauan (green fence) di sekeliling stock pile batubara dan landfill.
5. Pemasangan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) untuk memonitor kualitas emisi dari seluruh pembangkit yang berfungsi sebagai alert, sehingga PLN dapat segera mengetahui dan melakukan tindakan preventif untuk meminimalisasi dampak terhadap lingkungan.
6. Melakukan pemeliharaan rutin untuk alat pengendali pencemaran udara sehingga peralatan dapat bekerja secara optimum untuk mengurangi pencemaran udara.
Dengan diterbitkannya Permen LHK No. 15 Tahun 2019 tentang Baku Muku Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal, maka baku mutu emisi menjadi semakin ketat, sehingga berakibat pada tidak terpenuhinya baku mutu emisi di pembangkit PLN maupun IPP.
Hal ini mempunyai dampak antara lain:
1. PLN harus memasang teknologi pengendali pencemaran lingkungan di unit pembangkit yang tidak memenuhi baku mutu emisi, dengan biaya investasi yang cukup tinggi, sehingga berdampak pada peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.
2. Pembangkit IPP yang tidak memenuhi baku mutu emisi juga harus memasang teknologi pengendali pencemaran lingkungan, namun diharapkan agar penambahan biaya investasi tersebut tidak dibebankan kepada PLN sehingga tidak meningkatkan BPP.
3. Perlu dilakukan peninjauan ulang desain pembangkit yang masih dalam tahap perencanaan dan pengadaan, dengan mengacu pada Permen LHK No. 15 Tahun 2019. Hal ini berdampak pada bertambahnya waktu untuk melakukan review desain sehingga pembangkit tersebut berpotensi untuk tidak dapat beroperasi tepat waktu.