Jakarta, Ruangenergi.com – Kendati dinilai beberapa pihak kontroversial dan segera akan digugat ke Mahkamah Konstitusi, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mendukung penuh Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) atas revisi UU No. 4/2009 yang baru saja disahkan.
Menurutnya aturan baru tersebut harus diapresiasi karena memberikan kepastian perpanjangan kontrak kepada perusahaan tambang khususnya batubara. “Ini penting untuk memberikan kepastian berusaha sektor pertambangan di Indonesia. Tidak ada yang seheboh pendapat orang-orang di luar,” ujar Hendra dalam market review di IDX Channel, Jakarta, Rabu (01/7).p
“Aturan di Indonesia sebenarnya sudah jauh lebih ketat dari negara lain. Misalnya, konsesi harus diperpanjang berkala yakni pertama diberikan 30 tahun kemudian diperpanjang 2×10 tahun,” tambah dia.
Hendra membandingkan dengan perusahaan minyak dan gas yang bisa mengajukan perpanjangan izin 10 tahun sebelum konsesi habis. Untuk perusahaan minerba, aturannya tidak berubah, yaitu 2 tahun sebelum habis masa berlaku. “Jadi sebenarnya UU ini memberikan kepastian usaha dari PKP2B yang sudah ditetapkan 30 tahun lalu,” katanya.
Ia juga mengaku terus melakukan konsolidasi dengan Kementerian ESDM untuk pembuatan peraturan pelaksanaannya. Beberapa kali pertemuan disebutnya telah dilakukan. “Kami sebagai asosiasi pelaku usaha juga siap bila dibutuhkan dalam proses gugatan di MK,” pungkasn.
Sementara Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanagara Ahmad Redi akan mengajukan gugatan UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya bila uji formil diloloskan MK berarti seketika UU tersebut dibatalkan. Namun bila ditolak akan dilanjutkan dengan uji materiil. “Setelah diundangkan oleh Menkumham, gugatan langsung kami daftarkan ke MK. Bila langsung diterima uji formil, berarti tidak perlu uji materiil,” ungkap Redi dalam acara yang sama.
Lebih jauh ia mengatakan, pengesahan revisi UU Minerba lemah baik dari sisi formalitas maupun substansi. Sebab tidak memenuhi kriteria carry over atau pembahasan yang dapat dilanjutkan dari DPR periode 2014-2019 ke 2019-2024. Selama proses revisi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga tidak dilibatkan sejak awal pembahasan.
Ia menyebut sejumlah poin aturan yang bermasalah. Antara lain soal jaminan perpanjangan izin, khususnya untuk KK dan PKP2B dan perubahan statusnya menjadi IUPK. Selain itu juga terkait perizinan usaha minerba yang dinilai menjadi sentralistik, serta soal pengolahan dan pemurnian. Dia juga menilai revisi UU Minerba tidak menempatkan prioritas kepada BUMN dan BUMD dalam pengusahaan KK dan PKP2B. “Regulasi ini dipaksakan dengan alasan yang lemah,” tutupnya.(Red)