Jakarta, Ruangenergi.com – Polemik mengenai selisih perhitungan kadar nikel terus mengemuka. Misal di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) hanya menggunakan satu surveyor yang ditunjuk smelter, padahal pemerintah sudah menetapkan sejumlah perusahaan penyurvei yang boleh dan diizinkan untuk melakukan verifikasi atas kadar nikel tersebut.
Sejumlah pengusaha menilai, ada privilege atau keistimewaan yang diberikan ke salah satu penyurvei. Bahkan, salah satu penyurvei dinilai melalukan potong kompas.
Seharusnya melakukan survei datang langsung ke lokasi tambang, namun ternyata hanya video dan foto sampel nikel.
Sebagai informasi, saat ini terjadi kisruh antara pengusaha nikel dengan pemilik smelter berkenaan dengan Harga Patokan Mineral alias HPM. Hal itu terjadi lantaran adanya perbedaan hitungan kandungan nikel di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar.
Perbedaan hitungan itu terjadi karena pihak perusahaan smelter yang berada di IMIP menunjuk satu surveyor saja. Padahal jika merujuk data di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, saat ini sudah ada empat surveyor untuk memverifikasi nikel, yakni Surveyor Indonesia, Anindya Wiraputra Konsult, Sucofindo, dan Carsurin.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan bahwa tidak boleh ada surveyor yang diistimewakan, bahkan seharusnya semua surveyor mengikuti seluruh prosedur, metodologi survei hitungan kadar nikel sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah. Surveyor seharusnya punya standard prosedur tidak boleh asal potong kompas.
Selisih hitung kadar nikel jelas merugikan negara karena pendapatan yang lebih kecil. Hal ini seharusnya ditindaklanjuti secara serius. Harus dibuktikan selisih hitung itu dan apa penyebabnya.
“Kalau terjadi dikarenakan kongkalikong pengusaha tambang dengan surveyor, keduanya harus mendapatkan sanksi tegas. Kalau yang terjadi adalah kelalaian surveyor, maka surveyor harus disanksi termasuk sanksi dicabut izin operasi,” katanya, (27/10).
Menurut Piter, sengkarut hitungan kadar nikel ini sejatinya bisa dituntaskan jika ada sikap tegas pemerintah, terutama pada surveyor. Jika tak ada ketegasan, malah dibiarkan lama, maka negara dan pengusaha dirugikan.
“Pemerintah harus tegas terkait surveyor. Surveyor nakal harus disanksi agar pelaksanaan survei perhitungan kadar tidak lagi merugikan negara Akibat kesalahan hitung kadar nikel, bisa juga menguntungkan pengusaha tambang. Bahkan, patut dicurigai bagian kongkalikong pengusaha tambang dengan surveyor dalam rangka menghindari pajak,” katanya.
“Makanya, hal ini perlu disorot, siapa yang bermain. Ini kan merugikan negara dan kredibilitas surveyor. Jangan sampai, terjadi monopoli survei dalam lingkaran smelter. Ditegaskan Piter, sengkarut hitungan kadar nikel, merupakan domain eksekutif,” sambungnya.
Sementara DPR seharusnya mempertanyakan langsung ke pemerintah. Kalau masih memerlukan pendalaman, DPR bisa memanggil semua pihak yang terkait.
“Memang terlalu dini menyebut monopoli. Taruhlah ada 10 perusahaan surveyor, lalu semua smelter memilih hanya satu surveyor. Itu bukan indikasi monopoli. Yang harus dibuktikan adalah apakah satu surveyor tersebut melakukan kecurangan,” paparnya.
Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas mengenai penyelesain polemik perbedaan hitungan kadar nikel yang merugikan pengusaha dalam negeri.
“Komisi VII sudah menyelesaikan panja terkait polemik nikel tersebut. Panja tersebut sudah menghasilkan rekomendasi ke Kementerian ESDM. Maka dari itu harus segera ditinjak lanjuti oleh Kementerian ESDM.Komisi VII DPR RI juga mendesak pemerintah menata ulang industri nikel di dalam negeri,” tutur Eddy.
Menurutnya, penataan ulang tersebut berkaitan dengan silang sengkarut perbedaan hitungan kadar nikel yang akan dipasok ke pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
“Hasil Panja Komisi VII merekomendasikan supaya ada penataan surveyor untuk bisa melaksanakan tugasnya secara konsekuen. Bahkan dalam temuan kami ada surveyor yang belum tersertifikasi,” tutupnya.