Menteri Arifin Tasrif : Transisi Energi Menuju Net Zero Emission Membutuhkan Teknologi, dan Pembiayaan.

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Glasgow, ruangenergi.com – Komitmen kuat Indonesia turut andil berperan dalam menanggulangi perubahan iklim tengah diperkuat dengan perumusan sejumlah kebijakan, khususnya di sektor energi. Upaya ini ditempuh Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2060 atau lebih awal.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menyampaikan bahwa persoalan lingkungan dan ketegasan menjalankan misi tersebut membutuhkan daya dukung transisi energi. Tentunya, hal ini akan membuka ruang pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang optimal.

“Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT,” jelas Arifin saat menyampaikan pandangannya pada Ministrial Talks, dalam rangkaian agenda Conference of Parties (COP) ke-26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, UK, Senin (1/10).
Menurutnya, Indonesia berencana mulai mengembangkan Super Grid pada tahun 2025 untuk mengatasi kesenjangan antara sumber EBT dan lokasi di daerah yang memiliki permintaan listrik yang tinggi. Padahal, sebagai negara kepulauan, Indonesia perlu menyediakan akses listrik ke seluruh masyarakat lokal setempat.

Penerapan teknologi tepat guna juga diperlukan tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan kehandalan dan efisiensi pasokan, namun juga untuk mengintegrasikan sumber EBT dan mengantisipasi sifat intermitten EBT, seperti matahari dan angin. Teknologi yang dibutuhkan termasuk jaringan pintar (smart grid), smart meter dan sistem penyimpanan energi termasuk pumped storage dan Battery Energy Storage System (BESS).

Terkait pembiayaan, Arifin menegaskan peran sektor swasta sebagai penopang finansial selain pemerintah dan lembaga keuangan sebagai aspek penting dalam meningkatkan dan mempercepat implementasi energi rendah karbon.

“Diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan,” paparnya.

Salah satunya melalui pengesahan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030, di mana porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6 persen atau setara dengan 20,9 Giga Watt (GW). Kebijakan ini menegaskan bahwa penambahan kapaistas pembangkit listrik hanya akan berasal dari EBT mulai tahun 2035.

“Pemanfaatan panasbumi dimaksimalkan hingga 75 persen dari potensi, pembangkit hidro dioptimalkan ke pusat beban di pulau-pulau kecil dalam menyeimbangkan pembangkit listrik VRE,” jelas Arifin.

Kementerian ESDM menjalin kerjasama secara aktif dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kementerian negara dan lembaga lainnya dalam memenuhi target penurunan emisi. Meski begitu, terbuka juga peluang bagi sektor swasta, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk membantu memenuhi target lebih cepat.

Peta Jalan 2060

Sebagai wujud dari ambisi besar tersebut, Pemerintah telah merumuskan peta jalan menuju netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat sesuai Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilence/LTS-LCCR).

“Roadmap ini juga mencakup upaya yang diperlukan dari sisi permintaan untuk mendukung transisi energi, seperti penggunaan kompor listrik, lampu LED dan gas kota,” ungkap Arifin.

Dia menguraikan, selama periode tahun 2021 hingga 2025, dilakukan penerbitan dan implementasi regulasi antara lain terkait undang-undang tentang EBT, penghentian dini pembangkit berbasis batubara, perluasan cofiring PLTU, serta konversi diesel ke gas dan EBT.

Regulasi terkait PLTS Atap diterbitkan sebagai insentif bagi masyarakat yang memasang PLTS Atap sebagai energi bersih agar pengembagannya semakin masif. Selain itu, kebijakan pajak karbon (cap and tax) juga disiapkan untuk mengendalikan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengubah prilaku aktifitas ekonomi agar dapat menurunkan emisi GRK. Pajak karbon akan diterapkan secara terbatas untuk PLTU mulai April 2022.

Dari tahun 2026 hingga 2030, tidak akan ada tambahan kapasitas PLTU karena kapasitas hanya dari yang sudah berkontrak atau sedang dibangun. Solar PV dan kendaraan listrik akan dikembangkan secara masif, ditargetkan untuk mendukung penyediaan 2 juta kendaraan roda empat dan 13 juta roda dua. Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dapat dicapai dengan pengurangan emisi di sektor energi sebesar 314 juta ton CO2 pada tahun 2030.

Selanjutnya pada 2036-2040 akan menjadi tahap kedua penghentian PLTU termasuk subcritical, critical dan sebagian supercritical. Sedangkan porsi EBT akan meningkat menjadi 66 persen yang didominasi oleh pembangkit surya, hidro, dan bioenergi. Selain itu, dilakukan pengurangan penjualan kendaraan roda dua konvensional.

Dari 2041 hingga 2045, pembangkit arus laut skala besar dan pembangkit nuklir pertama mulai Commercial Operation Date (COD). Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan menjadi 93 persen yang akan didominasi oleh pembangkit surya, hidro, dan bioenergi. Penjualan kendaraan roda empat konvensional juga akan berkurang.

Terakhir, selama 2051 hingga 2060 akan menjadi periode terakhir untuk penghentian PLTU dan hidrogen untuk listrik akan dikembangkan secara besar-besaran. Energi terbarukan yang dikembangkan didominasi oleh pembangkit surya, hidro, dan angin.

“Kami berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional,” tutup Arifin.