Kementerian esdm

Hilirisasi Sektor Minerba, Pengamat: Stop Ekspor Raw Material Minerba Sudah Tepat

Jakarta, Ruangenergi.comDirektur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai bahwa hilirisasi di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) dalam negeri merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat.

Pasalnya, hal tersebut dapat meningkatkan nilai tambah terhadap negara dan mampu menciptakan multiplier effect terhadap masyarakat.

“Saya kira itu (hilirisasi minerba) adalah suatu kebijakan yang sangat tepat sekali. Karena bisa memberikan nilai tambah bagi negara,” katanya saat dihubungi Ruangenergi.com, (26/11).

Selain itu, dia juga menegaskan, sudah sepatutnya Indonesia menyetop ekspor produk bahan mentah (raw material) minerba. Sebab, banyak potensi yang ikut terbawa dalam ekspor bahan mentah tersebut.

“Sudah cukup kita menjual (isi perut) bumi dan tanah air secara mentah-mentah ke luar negeri. Karena jika semuanya di bawa keluar negeri secara mentah, ada potensi mineral lain yang ikut terbawa,” tuturnya.

Dia juga mengungkapkan bahwa apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada saat menghadiri KTT G20 di Roma, Italia, pada akhir Oktober 2021, terkait kebijakan tentang larangan ekspor bahan mentah komoditas tambang kepada para pemimpin Uni Eropa dan Eropa, adalah satu kebijakan yang tepat.

“Saya mendukung sekali kebijakan tersebut, kita tidak perlu takut dengan gugatan negara-negara lain yang selama ini sudah menikmati ekspor hasil bumi Indonesia berupa raw material,” tegas Mamit.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan

“Kini saatnya kita melakukan hilirisasi terhadap industri pertambangan dalam negeri. Sehingga terciptanya added value yang dapat dinikmati oleh masyarakat dan memberikan pendapatan terhadap negara, serta menciptakan multiplayer efek seperti meningkatnya tenaga kerja, serapan listrik yang cukup besar dengan adanya pembangunan smelter-smelter, peningkatan teknologi yang didapatkan oleh masyarakat Indonesia. Multiplayer effect dari hilirisasi sektor pertambangan merupakan hal yang sangat bagus dan patut kita dukung,” tandasnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak takut menghadapi gugatan dari negara manapun di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) atas keputusan pemerintah melarang ekspor bahan mentah komoditas tambang nikel, bauksit, tembaga, dan timah.

Justru sebaliknya, Pemerintah Indonesia membuka investor di sektor pertambangan yang ingin mengolah dan mengembangkan sumber daya alam untuk membangun industrinya di Indonesia.

“Datang bawa pabriknya, industri dan teknologi ke Indonesia. Dikerjakan tidak sampai barang jadi juga tidak apa-apa,” terang Jokowi.

Sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia telah memiliki infrastruktur untuk pengembangan komoditas pertambangan sehingga tidak diperlukan lagi mengekspor bahan mentah (raw material).

“Melakukan pelarangan ekspor nikel yang kemudian kemungkinan tahun depan dengan kalkulasi hitung-hitungan akan dilakukan penghentian ekspor bauksit, tembaga, timah. Diharapkan agar bahan mentah semuanya diekspor dalam bentuk setengah jadi atau barang jadi. Menurut Presiden Jokowi, keputusan pemerintah menghentikan ekspor bahan mentah dalam rangka meningkatkan nilai tambah (added value) komoditas yang dimiliki negeri ini,” ungkap Jokowi.

Ia mengatakan, komoditas nikel,saat ini masih diizinkan, ekspor nikel pada 3 atau 4 tahun lalu, Indonesia hanya berada di angka US$ 1,1 miliar. Setelah hilirisasi, nilainya melonjak hingga mencapai US$ 20 miliar atau Rp 280 triliun pada tahun ini.

“Ini akan memperbaiki Neraca Perdagangan Indonesia agar dapat memperbaiki neraca pembayaran dan neraca transaksi berjalan agar lebih baik. Tahun 2018, neraca perdagangan masih defisit, minus US$ 18,41 miliar. Sekarang ini, pada bulan Oktober sudah menjadi minus US$ 1,5 miliar khusus ke Tiongkok, yang tahun lalu defisit dan diharapkan tahun depan sudah surplus dengan Tiongkok,” imbuhnya.

Jokowi optimistis apabila larangan komoditas tambang terus diberlakukan, pemasukan negara dan neraca perdagangan akan meningkat. Saat ini baru komoditas nikel selanjutnya bauksit, dimana nilainya juga akan kurang lebih sama yaitu sekitar US$ 30 miliar jika semua komoditas diindustrialisasikan dan dilakukan hilirisasi di dalam negeri .

Sementara itu, untuk jangka panjang PLN akan terus melakukan pembangunan EBT yang dikombinasikan dengan energy storage, yang terinterkoneksi. Langkah ini sinergi dengan rencana mengurangi PLTU secara bertahap.

Selain itu, PLN juga tengah mempertimbangkan penggunaan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) mulai 2040 jika harga teknologi tersebut sudah lebih terjangkau. Dengan adanya CCS, diharapkan PLTU yang masih memiliki nilai ekonomi masih dapat dimanfaatkan.

Di sisi lain, Kementerian ESDM mengemukakan, secara umum upaya pemerintah menuju karbon netral berdasarkan 5 prinsip utama. Kelima prinsip tersebut meliputi peningkatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), pengurangan energi berbasis fosil, peningkatan pemanfaatan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan peralatan listrik untuk sektor rumah tangga dan industri, dan terakhir pemanfaatan teknologi bersih seperti CCS.

Kementerian ESDM juga telah mengembangkan sebuah roadmap yang menjabarkan upaya-upaya yang diperlukan untuk mengembangkan EBT, yaitu pengurangan bahan bakar fosil dan penerapan teknologi bersih untuk mencapai karbon netral pada 2060 .

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *