Mamit Setiawan

Energy Watch: Penurunan Intensitas Carbon di Industri Hulu Migas Bukan Pekerjaan Mudah

Jakarta,ruangenergi.com-Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan terkait dengan penurunan intensitas carbon di industri hulu migas ini memang bukan pekerjaan yang mudah diterapkan di Indonesia.

Teknologi untuk menciptakan penurunan carbon masih membutuhkan investasi yang cukup mahal. Hal ini akan berdampak terhadap Capex dan Opex K3S yang beroperasi di Indonesia semakin bertambah. Disisi lain, cost perbarel untuk menghasilkan minyak di Indonesia juga masih cukup tinggi dimana tergantung dari lapangan penghasil terutama untuk offshore dan indonesia bagian timur.

 

“Hal ini berbeda dengan Libya berdasarkan data BP Statiscal 2021, cadangan terbukti minyak pada 2020 masih besar 48 Milyar barel. Jauh jika dibandingkan Indonesia yang hanya 2.4 Milyar bbl. Jadi, pengurangan emisi carbon saat ini akan lebih banyak dengan mengurangi flaring, lebih banyak menggunakan EBT sebagai sumber listrik mereka dan mengurangi penggunaan BBM dalam mobilitas dan aktifitas pekerjaan K3S. Untuk teknologi CCUS dan juga EGR masih membutuhkan waktu yang panjang agar bisa berjalan secara masif. Perlu ada insentif khusus dari pemerintah agara beban capex dan opex K3S yang menggunakan teknologi carbon capture bisa terbantu dan hal ini akan meningkatkan penggunaan teknologi tersebut di K3S yang beroperasi di Indonesia,” tegas Mamit dalam bincang santai dengan ruangenergi.com,Senin (13/12/2021) di Jakarta.

Banyak perusahaan migas,lanjut Mamit sedang mencari cara untuk mengurangi jejak karbonnya dengan beberapa strategi seperti pengurangan flaring, beralih ke model produksi yang lebih rendah karbon, menciptakan bahan bakar yang lebih rendah karbon, investasi pada kegiatan carbon offset, menambah teknologi penangkap karbon.

Dalam catatan ruangenergi.com,pada akhir September, Oil and Gas Climate Initiative – merupakan grup dari 12 perusahaan migas terbesar di dunia – mengupdate target penurunan intensitas emisi karbon dari operasi hulu migas menjadi 17 kg CO2 eq per barel dari sebelumnya 20 kg CO2eq per barrel.

Salah satu negara yang saat ini memiliki intensitas karbon yang rendah adalah Libya. Pengurangan flare gas dan energi matahari mejadi kunci bagi Libya dalam melakukan dekarbonisasi. Saat ini intensitas karbon yang terdapat di Libya mencapai 10 kg CO2eq per barel. Nilai intensitas karbon operasi minyak di Libya dapat lebih diturunkan dengan lebih banyak kerjasama antar perusahaan minyak internasional. Rendahnya intensitas karbon yang dimiliki Libya memberikan nilai tambah bagi Libya untuk menjadi tujuan investasi yang lebih menarik bagi perusahaan minyak besar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *