Pertamina Rugi di Bisnis LPG Non Subsidi, Pemerintah Terkesan Tutup Mata

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif AEPI, Salamuddin Daeng menyayangkan sikap Pemerintah yang seperti ingin lepas tanggung jawab dan terkesan cuci tangan melihat kondisi PT Pertamina (Persero) yang terus merugi di bisnis LPG Non Subsidi.

Salamuddin mengatakan, dengan melonjaknya harga bahan bakar LPG yang saat ini sudah mencapai USD 800-900 per metrik ton, sementara harga jual LPG Pertamina tidak pernah mengalami perubahan sejak 4 tahun terakhir maka hal ini akan sangat menyulitkan Pertamina dalam menjalankan bisnisnya.

“Kondisi ini tentu saja bisa menyebabkan Patra Niaga sebagai Subholding yang menjalankan bisnis LPG mengalami kebangkrutan, karena harga bahan bakar LPG saat ini naik hingga dua kali lipat tahun lalu. Ironisnya, Pertamina sendiri tak kuasa menaikkan harga, karena pasti akan ditegur oleh pemerintah,” kata Salamuddin di Jakarta, Kamis (16/12/2021).

“Pertamina hanya bisa melaporkan kerugian yang penyebabnya telah diketahui secara pasti, namun tidak berani berterus terang karena takut kepada pemiliknya yakni pemerintah,” tambahnya.

Menurut Salamuddin, sudah saatnya Pertamina diberi kesempatan untuk menyesuaikan harga LPG non subsidi yang sejak 2017 tidak pernah dinaikkan, karena tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.

“Akibatnya ketika CP Aramco ada di posisi 800an Us dollar/ MT maka penjualan LPG non subsidi Pertamina rugi sangat besar dan kerugian ini justru terjadi di depan mata pemerintah,” cetusnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri di depan mata penanggung jawab utama, pemegang sahamnya yakni pemerintah sudah mengatakan bahwa 68 persen BUMN berpotensi bangkrut.

“Mengapa mereka tidak berbuat sesuatu untuk mengatasi kebangkrutan BUMN?” Tanya Salamuddin.

Ia meminta Pemerintah untuk tidak berlarut-larut membiarkan kondisi ini dialami Pertamina karena bisa mengakibatkan Patra Niaga sebagai subholding yang menjalankan bisnis ini bangkrut.

“Jika hal ini terus berlanjut maka sudah pasti Patra Niaga yang menjalankan bisnis menjual LPG Non Subsidi, perlahan-lahan akan bangkrut. lalu siapa yang nanti bertanggung jawab?” Tanya Salamuddin lagi.

“Padahal membiarkan anak perusahaan (sub holding) Pertamina rugi jelas berpotensi membuat Pertamina tak maksimal membukukan laba dan itu artinya penerimaan negara dari dividen pasti nihil pula,” lanjutnya.

Lebih jauh ia mengatakan, untuk mengatasi kenaikan harga bahan baku impor LPG yang besar, harusnya bisa dengan mengkoreksi harga jual dan dilakukan sebijak mungkin dan ini “direstui” secara tertutup oleh pemerintah.

Apalagi terbukti dan kita semua tau bahwa konsumen pengguna elpiji non subsidi rata-rata adalah golongan mampu, sehingga tidak perlu disubsidi, apalagi oleh Pertamina.

“Sekali lagi saya minta Pemerintah untuk tidak lepas tanggung jawab dan terkesan cuci tangan. Pemerintah harus bicara dan mengambil keputusan serta memberi solusi pasti sebagai jawaban untuk menghentikan kerugian akibat penjualan LPG Non Subsidi oleh Sub Holding Patra Niaga Pertamina,” demikian Salamuddin Daeng.(SF)