Jakarta, Ruangenergi.com – Negara-negara dunia saat ini sedang bertransformasi menggunakan energi baru terbarukan. Seperti halnya di Eropa, melalui European Green Deal melakukan transisi energi dengan menciptakan peluang investasi baru dalam transisi energi melalui pengurangan emisi.
Bahkan Arab Saudi, salah satu negara dengan cadangan minyak bumi terbesar, pada tahun 2016 telah bertransformasi dengan meluncurkan Visi Saudi 2030, yaitu rencana untuk mengurangi ketergantungan pada sektor minyak bumi, mendiversifikasi ekonomi, serta mengembangkan sektor layanan umum.
Meski demikian, untuk saat ini bisa dikatakan pemanfaatan energi fosil masih menjadi primadona. Hal tersebut dibuktikan dengan dibangunnya Kilang Minyak dan Petrokimia oleh PT Pertamina (Persero) untuk menekan impor BBM yang selama ini masih cukup besar yakni sekitar 35-40 persen atau hampir 400 ribu barel per hari.
Alumni Ikastara ke-4, Prof. Dr. Oki Muraza, Associate Professor, Dept of Chemical Engineering & CENT, King Fahd University of Petroleum and Minerals (KFUPM), Arab Saudi, mengatakan, Arab Saudi merupakan salah satu Negara penghasil minyak terbesar global dengan produksi hingga 12 juta barel per hari.
Ia mengatakan, dengan produksi 12 juta barel per hari, Arab Saudi melakukan ekspor sebesar 8 juta barel per hari. “Saat ini mereka mulai bertransisi ke renewable energi seperti angin dan surya. Ini satu perkembangan yang menarik, sebuah negara yang kaya natural resources seperti oil (minyak) tetapi mereka mengembangkan energi baru terbarukan,” ungkap Oki di sela-sela diskusi online yang digelar Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara (Ikastara) bertema “Menuju Transformasi Energi Indonesia : Mampukah Kita?” Selasa (28/07) malam.
Meski demikian, Oki memprediksi, bahwa kedepan energi fosil seperti crude oil akan lebih banyak digunakan untuk bahan baku chemicals dibandingkan menjadi energi fuel (BBM).
Ia menambahkan, seperti yang terjadi di Arab Saudi dan China yang telah melakukan transisi bahan bakar yang bersumber dari oil digunakan untuk petrokimia.
“Untuk itu, pentingnya kita mengintegrasikan industri hulu migas Indonesia dengan industri hilir dan industri petrokimia. Dengan manfaatkan teknologi, sebab semakin canggih teknologi yang digunakan akan semakin mahal pula energi yang dihasilkan,” paparnya.
Selain itu, ia juga menyayangkan adanya kabar kurang baik yang sedang hangat dibicarakan saat ini terkait rencana hengkangnya perusahaan migas besar di global (Shell) dari proyek pengembangan Blok Masela. “Kita menyayangkan keputusan Shell yang memilih untuk tidak melanjutkan mengembangkan Blok Masela,” sesalnya.
Kemudian, India mengklaim bahwa kebutuhan akan Liquied Natural Gas (LGN) sudah over supply. “Untuk itu, kita perlu merancang industri hulu dan hilir migas untuk menyelamatkan proyek ini,” ujarnya.
Oki menambahkan, saat ini gas yang bersumber dari Blok Masela dijadikan feedstock di dalam negeri, hal tersebut dilakukan guna mengurangi ketergantungan impor.
Selain mengurangi ketergantungan impor, gas Blok Masela untuk dalam negeri juga dapat mengurangi devisit yang besar seperti petrochemicals dan fuel. “Kita bisa alokasikan kebutuhannya untuk gasoline dan petrochemical yang akan memberikan multiflier effect dan energy security,” tuturnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, pihaknya akan mengundang investasi dalam negeri untuk menyerap bahan baku dari Blok Masela. “Caranya kita bisa mengundang pihak asing tidak hanya di hulu namun juga di hilir,” pungkasnya.(Rian)