Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, perang Rusia-Ukraina yang mendorong harga minyak pada level yang lebih tinggi berpotensi memberikan dampak secara langsung terhadap Indonesia.
“Status Indonesia sebagai net importir minyak dan masih menerapkan kebijakan subsidi untuk minyak dan gas, serta tren kenaikan harga minyak akan memberikan dampak secara langsung terhadap kondisi fiskal dan moneter Indonesia,” kata Komaidi di Jakarta, Sabtu (5/3/2022).
Menurutnya, saat ini harga minyak terpantau telah mencapai kisaran USD 118 per barel. Sementara, asumsi harga minyak atau ICP dalam APBN 2022 ditetapkan sebesar USD 65 per barel.
“Dari aspek fiskal, perbedaan yang signifikan antara asumsi ICP dan realisasi harga minyak tersebut akan memberikan dampak secara langsung terhadap meningkatnya kebutuhan anggaran subsidi BBM dan LPG jika pemerintah menghendaki daya beli masyarakat tetap terjaga,” paparnya.
Sementara dari aspek moneter, sambung pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti, peningkatan harga minyak dan gas akan memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan devisa impor migas yang semakin besar.
“Saat ini, sekitar 60 persen kebutuhan minyak dan produk BBM Indonesia dipenuhi dari impor. Sementara, sekitar 75 persen kebutuhan LPG dalam negeri juga harus dipenuhi dari impor,” ungkapnya.
Komaidi menegaskan, tekanan pada aspek moneter akibat peningkatan harga minyak kemungkinan tidak akan sederhana jika mencermati kondisi struktur ekonomi Indonesia saat ini. Pasalnya, berdasarkan neraca input-output, ketergantungan Indonesia terhadap komponen impor untuk proses produksi barang dan jasa cukup besar.
“Karena itu, peningkatan kebutuhan devisa impor migas yang berkorelasi dengan pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi menurunkan daya saing industri Indonesia,” katanya.
Berdasarkan kondisi dan perkembangan yang ada, menurutnya tidak akan mudah bagi semua pihak termasuk Indonesia untuk dapat memitigasi dan memberikan respon kebijakan yang tepat untuk meminimalisir dampak dari peningkatan harga minyak akibat perang Rusia-Ukraina.
“Apalagi jika perang tersebut telah pada level memberikan dampak secara langsung terhadap berkurangnya atau bahkan tidak tersedianya pasokan minyak di pasar global. Maka untuk kebijakan harga BBM dalam negeri saja misalnya, formulasi kebijakan yang tersedia akan semakin terbatas,” tandasnya.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa saat harga minyak sedang rendah, dalam tingkatan tertentu pemerintah dapat memberlakukan kebijakan BBM khusus penugasan, BBM satu harga, dan BBM subsidi.
“Namun pada kondisi harga minyak yang tinggi, pemerintah relatif tidak memiliki fleksibilitas untuk dapat menerapkan kebijakan tersebut,” ujarnya.
Menurut Komaidi, pilihan kebijakan tersebut sebenarnya masih tetap dapat dijalankan tetapi memiliki konsekuensi terhadap aspek fiskal dan/atau keuangan badan usaha penerima penugasan yang umumnya adalah BUMN.
“Tapi pemerintah perlu berdiri di tengah untuk menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, pemerintah perlu melindungi kepentingan semua pihak,” tukasnya.
Pada level harga minyak yang telah mencapai USD 118 per barel, lanjut dia, tidak relevan lagi jika harga BBM di dalam negeri menggunakan acuan ICP APBN 2022 yang ditetapkan sebesar USD 65 per barel. Apalagi jika mengingat sekitar 60 persen kebutuhan minyak dan BBM Indonesia telah dipenuhi dari impor.
“Sementara untuk kepentingan menjaga daya beli dan keseimbangan kondisi makro ekonomi, pemerintah juga tidak dapat melepaskan kebijakan harga BBM negeri untuk mengacu pada harga pasar,” tutup Komaidi.(SF)