Jakarta,Ruangenergi.com-Pengembangan panas bumi di Indonesia masih tidak menarik di mata investor untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP).
Apabila harga BPP menarik tentu mau saja. Namun hingga saat ini BPP PLN tidak menarik untuk pembangunan biaya PLTP baru. Kesemua ini akan dimasukkan ke dalam Peraturan Presiden tentang Energi Baru Terbarukan. Hingga saat ini Perpres EBT masih digodok Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik dalam anggaran belanja PLN 2020 sebesar Rp359,03 triliun. … Dibandingkan dengan bahan bakar lainnya seperti baru bara sebesar Rp56,26 triliun, BBM dan BBN sebesar Rp24,17 triliun dan energi baru terbarukan sebesar Rp5,24 triliun
“Perpres EBT hanya sampai umur Pemerintahan Jokowi saja… setelah pergantian Jokowi di tahun 2023 kemungkinan besar Perpres EBT akan berubah lagi…” kata Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) Riki F.Ibrahim dalam bincang santai dengan Ruangenergi.com.
Berpotensi Merugikan
Riki menilai,Perpres ini tidak akan jalan karena masih ada kalimat: “Harga pembelian tenaga listrik berdasar kesepakatan para pihak”.
Kalau lembaga pengawasan/audit seperti BPK menganggap kesepakatan pembelian harga listrik terlalu mahal, berpotensi dianggap kerugian negara.
“Perpres ini seharusnya berisi:
- Pemberian insentif bagi pemanfaan EBT dan mengatur Kementerian apa berbuat apa.
- Pemberian insentif ini pasti akan berpengaruh kepada keuangan negara yang dikompensasi dengan security of supply, cost of not using EBT yang diukur secara makro ekonomi.
- Selama ini kebijakan nasional pengembangan EBT pelaksanaannya pada tingkat pembangkit.
Pasti yang EBT lebih mahal dan ada new development cost yang harus ditanggung. Seharusnya kebijakan Nasional itu pelaksanaannya pada tataran makro juga. Jadi bukan bicara harga jual tetapi bicara national net benefit,”ungkap Riki dengan mimik wajah serius.