Jakarta,ruangenergi.com-Indonesia memiliki milestone di mana tahun 2030 diharapkan lapangan minyak dan gas non konvensional (MNK) dapat berkontribusi mencapai 100 ribu BOPD.
Pemerintah menyadari bahwa untuk mengembangkan MNK memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendorong pengembangan MNK, telah ditetapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 35 Tahun 2021 tentang tentang Tatacara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Migas.
Pada saat aturan ini berlaku, tiga peraturan lainnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yaitu Permen ESDM Nomor 35 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Permen ESDM Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara dan Permen ESDM Nomor 05 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional.
“Pemerintah merevisi aturan lama. Kita upayakan supaya MNK bisa dieksplorasi,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji,seperti dikutip dari situs migas.esdm.go.id.
Tutuka menambahkan, pemerintah mengharapkan dapat dilakukan inovasi atau penggunaan teknologi yang tepat untuk mengembangkan MNK di Indonesia.
Menurut dia,ada tiga langkah percepatan pengusahaan MNK yang diatur dalam aturan ini yaitu pertama, Pengusahaan MNK yang dapat dilaksanakan oleh KKKS Migas Konvensional dalam 1 kontrak kerja sama.
“Kalau operator KKKS eksisting melakukan pengeboran lebih dalam dan ternyata menemukan shale oil, maka dia dapat melakukan sendiri (pengembangan MNK) atau bekerja sama dengan pihak lainnya,” ucap Tutuka.
Percepatan kedua adalah Biaya Studi Potensi MNK di mana biayanya sebagai bagian dari biaya operasi KKKS eksisting, baik KKKS yang bentuk kontraknya cost recovery maupun gross split.
Langkah ketiga adalah Keekonomian Lapangan yaitu KKKS dapat mengusulkan perubahan bentuk kontrak, terms and conditions atau kontrak kerja sama (KKS) baru yang memenuhi keekonomian wilayah kerja setelah pelaksanaan studi potensi MNK.
“Split bisa diusulkan KKKS karena MNK tingkat kesulitannya lebih tinggi. Seperti untuk shale oil yang lebih dalam perlu dilakukan fracturing yang massive dan ini mahal, sehingga perlu T&C yang lebih menarik,” pungkas Tutuka.