Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, besaran beban subsidi energi yang mencapai Rp 502 triliun pada tahun ini yang kembali disinggung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan sebuah pesan implisit yang sebenarnya ingin disampaikan Presiden.
“Saya menilai bahwa apa yang disampaikan Presiden adalah pesan implisit agar transisi energi dari energi bahan bakar minyak ke energi yang berbasis listrik segera dilakukan. Jelas sekali disampaikan bahwa beban subsidi yang semakin besar ini perlu segera diatasi. Ini penting agar beban subsidi yang ditanggung pemerintah semakin berkurang,” kata Mamit di Jakarta, Minggu (26/6/2022).
Selain beban subsidi yang berkurang, kata dia, dengan memperbanyak penggunaan peralatan dan kendaraan yang berbasis listrik akan mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan.
“Apalagi kita punya target mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 dan menuju bebas karbon pada 2060 yang akan datang. Kendaraan bermotor saat ini menyumbang emisi karbon sebesar 2,6 kg CO2/10 km sedangkan kendaraan listrik hanya 1,27 kg CO2/10 km,” urai Mamit.
Menurut dia, seharusnya momen ini menjadi peluang bagi PLN untuk mengambil posisi yang strategis untuk menterjemahkan apa yang dimaksud oleh Presiden Jokowi.
“Sebagai perusahaan yang besar dan satu-satunya di ketenagalistrikan maka PLN harus bisa mengambil momentum ini. Di tengah tekanan harga energi yang terus meningkat, pemerintah melindungi PLN dengan menjaga harga energi primer batubara di angka USD 70 per metrik ton sehingga bisa bernapas lega meskipun ICP terus mengalami kenaikan seiring naiknya harga minyak dunia,” papar Mamit.
Hanya saja, menurut dia, PLN harus bisa meningkatkan efisiensi agar bisa membantu pemerintah untuk mengurangi beban subsidi dan kompensasi sebagaimana yang di sampaikan oleh Presiden.
“Sebagai badan usaha yang entitas bisnisnya sangat banyak, perlu kiranya ditata dan diperbaiki kembali proses bisnis yang dilakukan oleh PLN. Hal ini sangat penting, agar efisiensi yang Presiden maksud bisa dilakukan oleh PLN,” ujar Mamit.
Lebih jauh ia mengatakan, saat ini lini bisnis yang dilakukan oleh PLN cukup banyak dan besar sehingga kinerja PLN tidak fokus dan cendrung bertumpuk-tumpuk baik dari sisi kinerja maupun tanggungjawab.
“Penumpukan unit bisnis yang sama membuat kinerja PLN kurang optimal dan menyebabkan adanya double cost atau double handling membuat inefisiensi dalam unit bisnis PLN sendiri. Dari sisi tanggungjawab masing-masing unit bisnis juga melebihi dari yang seharusnya dan bahkan cendrung terjadi pengulangan satu sama lain,” jelasnya.
Mamit mencontohkan, dari sisi pembangkitan saja, PLN memiliki beberapa anak perusahaan yang secara core bisnis sebenarnya sama. Hal ini menyebabkan adanya penumpukan unit bisnis dan tanggungjawab.
“Suka tidak suka, penumpukan ini membuat PLN menjadi tidak efisien. Belum lagi terkait tanggungjawab, unit bisnis pembangkitan ini juga harus mengurusi pelayanan kepada masyarakat. Jadi, selain tidak efisien hal ini dapat menyebabkan kinerja unit pembangkitan tidak fokus dalam memberikan keandalan pasokan listrik,” lanjut dia.
Menurut Mamit, di tengah kondisi ekonomi dan bisnis global yang sudah berubah serta bergerak dinamis ini maka PLN harus segera melakukan transformasi bisnis mereka agar bisa bisa bersaing dan pastinya lebih efisien lagi.
“Transformasi dan perbaikan tata kelola bisnis PLN adalah keharusan yang mesti disegerakan agar PLN tetap bertahan ditengah kondisi ekonomi dan bisnis global yang dinamis dan sulit ini serta tetap menjalankan fungsi Public Service Obligation (PSO) sebagaimana yang diamanatkan oleh pemerintah,” papar Mamit
Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam dalam negeri harus bisa dioptimalkan dalam rangka menjaga kedaulatan dan ketahanan energi nasional.
“Dengan demikian, kita tidak terpengaruh dengan situasi eksternal yang sewaktu-waktu bisa melambungkan harga energi seperti konflik Rusia dan Ukraina yang saat ini sedang berlangsung,” jelas Mamit.
Dia juga menyarankan agar PLN bisa lebih lentur dan flexible dalam menghadapi tantangan yang demikian berat ini. Jika tidak, maka PLN bisa tertinggal dan tidak bisa menjalankan amanat yang disampaikan Presiden untuk lebih efisien, hemat dan mampu menutup yang kebocoran-kebocoran yang sudah terjadi.
“Saat ini semua perusahaan global sedang menuju ke arah bisnis yang modern, transparan dan pastinya menuju Environmental Social Governance (ESG). Melalui transformasi dan perbaikan tata kelola bisnis PLN, maka efisiensi yang minta Presiden bisa dicapai serta PLN tetap menjalankan bisnis mereka denga tetap memperhitungkan ESG,” ungkap Mamit.
Menurut dia, jika semua bisa dilakukan oleh PLN maka akan sangat membantu pemerintah untuk mengurangi beban subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung.
“Kita ini net importir minyak sehingga ditengah harga minyak dunia yang tinggi seperti saat ini, sangat memberatkan bagi negara. Apalagi mata uang rupiah semakin tertekan oleh dolar AS menambah berat belanja yang dilakukan. Maka, sudah sepatutnya PLN bisa mensegerakan semua efisiensi di internal perusahaan,” tutup Mamit.(SF)