Jakarta,ruangenergi.com-Tarif royalti yang tinggi akan sangat terasa dampaknya terutama pada saat harga komoditas dititik yang rendah, apalagi dengan beban biaya operasional akibat kenaikan harga bahan bakar. Dua tahun lalu selama beberapa bulan harga komoditas dititik yang rendah (dibawah harga jual ke PLN) sehingga sebagian besar perusahaan berjuang untuk bisa bertahan (survive).
Terkait dengan pelaksanaan PP 26/2022 yang berlaku efektif 15 September 2022, anggota Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) pada dasarnya mematuhi segala peraturan perundang-undangan.
Namun, mengharapkan agar Pemerintah hendaknya mengkaji kembali formulasi HBA,karena sudah lebih dari setahun terakhir ini indeks batubara yang merepresentasikan batubara Indonesia spt ICI dan Platts terdiskoneksi dengan indeks yang merepresentasikan batubara Australia (Newcastle dan Global Coal). Sehingga HBA tidak mencerminkan harga pasar,sementara perusahaan membayar royalti berdasarkan HPB yang lebih tinggi dari pada harga pasar.
“Kami memahami keinginan Pemerintah dalam memaksimalkan penerimaan negara dari sektor industri pertambangan. Namun disisi lain bagi pengusaha akan berpengaruh bagi profitabilitas apalagi biaya produksi terus meningkat serta beban tarif pajak dan PNBP di sektor lain juga terus meningkat,” kata Direktur Executive APBI Hendra Sinadia dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com,Rabu (24/08/2022) di Jakarta.
Hendra menambahkan, tarif royalti yang tinggi akan sangat terasa dampaknya terutama pada saat harga komoditas dititik yang rendah, apalagi dengan beban biaya operasional akibat kenaikan harga bahan bakar.
“Dua tahun lalu selama beberapa bulan harga komoditas dititik yang rendah (dibawah harga jual ke PLN) sehingga sebagian besar perusahaan berjuang untuk bisa bertahan (survive),”pungkas Hendra.