Tak Mau Miskin Permanen, Kawasan Timur Perlu Galang Solidaritas Oceania

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Kawasan Timur Indonesia perlu menggalang solidaritas Oceania karena memiliki karakter wilayah yang sama. Oceania akan menjadi hotspot masa depan dunia. G20 di Bali semestinya menjadikan Oceania sebagai blue – green development dibandingkan dengan kawasan lain.

Hal itu terungkap dalam forum diskusi terbatas dari berbagai elemen di kawasan timur yang diinisiasi Archipelago Solidarity Foundation di Jakarta, Minggu (6/11/2022), yang dihadiri Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Prof. Dr. Jan Sopahelawakan, Dr. Ing. Ignas Iryanto, Dr. Ishak Tan, Drs. Robert Bala, MA; kandidat Dr. Laus Calvin Rumayom, Web Warouw, Demianus Meriam, Hengky Ap, Drs. Theopilus Luis, Syarif Lussy dan Daniel Tagukawi.

Sesuai data resmi pemerintah, Provinsi Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku merupakan empat provinsi termiskin di Indonesia dari satu rezim ke rezim yang lain, tetapi tidak ada kebijakan yang nyata untuk mengangkat kawasan ini. Sementara di satu sisi, sumber daya alamnya dieksploitasi sedemikian rupa.

Engelina Pattiasina mengatakan, forum itu sengaja dirancang untuk mengidentifikasi solusi dan akar persoalan, sehingga kawasan timur tidak semakin tertinggal dari kawasan lain.

“Kalau wilayah yang kaya secara sumber daya alam tetapi terpuruk dalam kategori termiskin selama bertahun-tahun, maka hal itu harus dihentikan, sehingga keterpurukan ini tidak berlanjut ke generasi kini dan mendatang,” kata Engelina.

Menurutnya, kawasan timur memiliki kekayaan alam yang sangat lengkap baik di darat, laut dan di dalam laut. Pada masa keemasan rempah, juga tidak membawa perubahan di Maluku. Begitu juga dengan saat ini, dimana kekayaan sumber daya alam hanya dieksploitasi tetapi tidak membawa kemajuan bagi masyarakatnya. Justru, masuk sebagai kawasan termiskin, karena Papua, Papua Barat, Maluku dan NTT hanya bergantian nomor urut kemiskinan.

Engelina menegaskan, kawasan ini membutuhkan satu kebijakan khusus untuk mengubah situasi, sehingga tidak menjadi kawasan miskin permanen.

“Kita bisa mengangkat situasi keterpurukan ini, termasuk dengan menjalin kerja sama dengan kawasan Oceania,” tegasnya.

Ia juga mengatakan, bahwa sangat penting untuk membangun kolaborasi dengan kawasan Oceania, karena memang memiliki karakter wilayah yang sama sebagai kawasan dengan perairan laut, pulau-pulau kecil, dan memiliki kemiripan dalam budaya.

Ia menambahkan, kalau dikaitkan dengan even Pemilu 2024, maka siapapun presiden dan wakil presiden terpilih, harus memiliki mindset atau cara pandang kemaritiman untuk kawasan timur. Sebab, tanpa memiliki solusi dan rencana yang paten mengenai karakter wilayah dan kultur kawasan timur yang berbasis maritim, maka hanya mengulang kekeliruan kebijakan kontinental di kawasan timur.

“Kalau tidak paham kawasan timur, sebaiknya jangan coba-coba jadi capres atau cawapres, karena tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi, kalau hanya mau melanggengkan kekuasaan dan korporasi. Jangan begitu ya, karena persoalan di kawasan timur nyata adanya,” tegas Engelina.

Karakter Bahari
Sementara Prof.Dr. Jan Sopahelawakan menjelaskan, selama ini kawasan timur dikelola sama seperti pembangunan kawasan kontinental, sehingga melupakan karakter bahari dari kawasan ini. Menurutnya, orang kontinental akan melihat laut sebagai pemisah, sedangkan orang bahari akan melihat laut sebagai pemersatu.

“Kultur bahari itu sangat berbeda dengan kultur kontinental, karena masyarakat bahari sangat kental dengan keterbukaan dan saling percaya,” ucapnya.

Untuk itu, katanya, keberagaman kebudayaan ini tidak tampak dalam berbagai kebijakan Negara, karena cenderung mengedepankan persatuan yang bisa dimaknai secara sempit sebagai keseragaman. Keberagaman hanya bisa terjadi, jika didukung dengan kebijakan desentralisasi asimetris.

“Kita itu sebenarnya sebagai Negara bahari, bukan Negara kepulauan. Karena ‘wilayah kepulauan’ merupakan sudut pandang orang kontinental,” ucapnya.

Geolog ini mengatakan, kawasan timur itu memiliki sumber daya yang sangat lengkap. Hampir semua yang dibutuhkan dunia di masa depan ada di kawasan ini. Kawasan timur ini membutuhkan sumber daya manusia (pendidikan), teknologi dan financial untuk bangkit dari keterpurukan.

Jan Sopahelawakan sangat mendorong adanya kolaborasi dengan kawasan Oceania, baik antar individu, lembaga ataupun sosial untuk bersama-sama mengembangkan potensi sesuai dengan karakter wilayah yang ada.

“Kawasan Oceania akan menjadi hotspot masa depan dunia dan kawasan timur ada di dalamnya,” kata dia.

Sopahelawakan mengatakan, akan sangat riskan kalau pembangunan kawasan timur hanya melihat dari sisi pragmatis politik, karena jumlah penduduk atau pemilih tidak signifikan untuk membangun posisi tawar.

“Kalau hanya melihat jumlah dukungan pemilih untuk membangun, maka situasi akan semakin buruk. Kawasan timur membutuhkan manajemen disaster untuk keluar dari keterpurukan,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. Ing. Ignas Iryanto, dengan berbagai kekayaan alam yang di kawasan timur, sebenarnya kawasan ini tidak pantas menjadi kawasan miskin. Hal ini, kata Ignas, menjadi sangat ironi, karena G20 yang digelar di Bali, antara lain, mengusung leave no one behind sebagai salah satu komitmen global untuk memberantas kemiskinan dalam segala bentuknya.

Para peserta G20, jelas Ignas, sebenarnya perlu menyadari bahwa ada satu kawasan di Indonesia yang terpuruk dalam kemiskinan, tetapi memiliki sumber daya alam yang sangat kaya.

“Kalau memang komitmen global itu nyata, semestinya kawasan timur ini tidak boleh ditinggalkan. Tapi, kok dibiarkan dalam kemiskinan,” tukasnya.

Ignas juga menyadari, kalau penguatan kepemimpinan dan kelembagaan di daerah itu sangat penting, karena dalam praktek seringkali ada penyimpangan kewenangan, sehingga hal ini juga menganggu pengembangan potensi daerah.

“Misalnya, bagaimana orang berinvestasi tetapi dengan birokrasi yang berbelit-belit,” katanya.

“Sangat penting untuk menjajaki kerjasama dengan kawasan Oceania, karena kawasan timur merupakan satu kawasan dalam gugusan Oceania, tentu memiliki kesamaan dalam keadaan geografis dan kultur,” pungkasnya.(SF)