Jakarta,ruangenergi.com-Telah terbit Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2022 oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2022 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Tercatat di BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 1061.
Ruangenergi.com mendapatkan salinan isi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2022 sebagai berikut:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Krisis Energi adalah kondisi kekurangan energi.
2. Darurat Energi adalah kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana energi.
3. Bahan Bakar Minyak yang selanjutnya disingkat BBM adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari
minyak bumi.
4. Tenaga Listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau
isyarat.
5. Liquefied Petroleum Gas yang selanjutnya disingkat LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya.
6. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan
minyak dan gas bumi.
7. Sarana Energi adalah fasilitas utama yang diperlukan dalam penyediaan dan pendistribusian energi.
8. Prasarana Energi adalah fasilitas pendukung yang diperlukan dalam penyediaan dan pendistribusian energi.
9. Sistem Setempat adalah suatu sistem tenaga listrik yang merupakan rangkaian instalasi penyediaan tenaga listrik meliputi pembangkit, jaringan distribusi, dan/atau transmisi tenaga listrik dengan lingkup pelayanan kepada konsumen paling sedikit pada suatu wilayah kabupaten atau kota tertentu.
10. Badan Usaha adalah badan usaha yang memiliki izin usaha dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi atau izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Cadangan Operasional adalah jumlah ketersediaan sumber energi dan energi yang dimUiki oleh Badan Usaha dan industri energi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen
12. Wilayah Distribusi Niaga BBM adalah wilayah tertentu yang ditetapkan dalam rangka pelayanan penyediaan dan pendistribusian BBM kepada konsumen paling sedikit pada suatu wilayah kabupaten atau kota tertentu.
13. Ketahanan- Stok (Coverage Days) adalah ketahanan persediaan aktual produk yang tersimpan di fasilitas
penyimpanan dalam tangki timbun termasuk persediaan terapung yang tersimpan di kapal (floating storage) yang dapat disalurkan untuk memenuhi rata-rata penyaluran harian (daily throughput).
14. Wilayah Distribusi LPG adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri dalam rangka pelayanan penyediaan dan pendistribusian LPG kepada konsumen paling sedikit pada suatu wilayah kabupaten atau kota tertentu.
15. Wilayah Distribusi Gas Bumi adalah wilayah niaga gas bumi pada suatu wilayah tertentu dalam rangka
pelayanan kepada konsumen gas kota dan transportasi paling sedikit pada suatu wilayah kabupaten atau kota tertentu.
16. Sidang Anggota adalah sidang berkala Dewan Energi Nasional yang dipimpin oleh Ketua Harian Dewan Energi Nasional dan dihadiri oleh Anggota Dewan Energi Nasional.
17. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
18. Direktur Jenderal adalah para direktur jenderal yang berada di bawah Menteri yang masing-masing
bertanggung jawab di bidang minyak dan gas bumi dan ketenagalistrikan.
19. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional adalah sekretaris jenderal yang memiliki tugas memberikan
dukungan administratif dan dukungan teknis kepada Dewan Energi Nasional.
20. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Badan Pengatur adalah suatu badan
yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian
BBM dan Gas Bumi pada kegiatan usaha hilir.
Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan Peraturan Menteri ini meliputi:
a. jenis energi yang digunakan untuk kepentingan publik sebagai pengguna akhir secara nasional;
b. Cadangan Operasional minimum dan kebutuhan minimum;
c. kriteria Krisis Energi dan/atau Darurat Energi;
d. identifikasi daerah potensi Krisis Energi dan/atau Darurat Energi; dan
e. tata cara tindakan penanggulangan Krisis Energi
dan/atau Darurat Energi
BAB II
JENIS ENERGI DAN PENGGUNAANNYA
Pasal 3
(1) Penetapan dan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi dilakukan terhadap jenis energi yang digunakan untuk kepentingan publik sebagai pengguna akhir secara nasional.
(2) Jenis energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. BBM;
b. Tenaga Listrik;
c. LPG; dan
d. Gas Bumi.
Pasal 4
Penggunaan jenis energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) meliputi:
a. BBM jenis minyak solar (gas oiQ, bensin (gasoline), dan avtur, termasuk yang dicampur dengan bahan bakar nabati, untuk segala macam keperluan;
b, Tenaga Listrik, untuk segala macam keperluan;
c. LPG, sebagai bahan bakar keperluan industri, komersial, dan rumah tangga, termasuk yang berasal selain dari gas hidrokarbon; dan
d. Gas Bumi, sebagai bahan bakar keperluan gas kota dan transportasi.
BAB 111
KONDISl KRlSlS ENERGI DAN/ATAU DARURAT ENERGI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Krisis Energi dan/atau Darurat Energi ditetapkan berdasarkan:
a. kondisi teknis operasional; dan
b. kondisi nasional.
Bagian Kedua
Cadangan Operasional Minimum dan Kebutuhan Minimum
Pasal 6
(1) Krisis Energi berdasarkan kondisi teknis operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a,
ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. Cadangan Operasional minimum BBM pada Wilayah Distribusi Niaga BBM;
b. Cadangan Operasional minimum daya mampu Tenaga Listrik pada Sistem Setempat;
c. Cadangan Operasional minimum LPG pada Wilayah Distribusi LPG; dan
d. kebutuhan minimum pelanggan Gas Bumi pada Wilayah Distribusi Gas Bumi
(2) Cadangan Operasional minimum BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Cadangan Operasional minimum daya mampu Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Cadangan Operasional minimum LPG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dan kebutuhan minimum pelanggan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan batas minimum cadangan atau kebutuhan untuk menjadi pertimbangan diusulkan sebagai Krisis Energi berdasarkan kondisi teknis operasional.
Pasal 7
(1) Cadangan Operasional minimum BBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a merupakan
Cadangan Operasional selama 7 (tujuh) hari Ketahanan Stok (Coverage Days) pada terminal BBM dan Stasiun
Pengisian Bahan Bakar pada suatu Wilayah Distribusi Niaga BBM.
(2) Terminal BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat penyimpanan dan penyaluran BBM yang dimiliki atau dikuasai badan usaha yang melakukan penyediaan dan pendistribusian BBM.
(3) Stasiun Pengisian Bahan Bakar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan setiap tempat untuk
menyediakan dan mendistribusikan BBM.
Pasal 8
Cadangan Operasional minimum daya mampu Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b merupakan Cadangan Operasional sebesar kapasitas 1 (satu) unit pembangkit terbesar yang tersambung ke Sistem Setempat.
Pasal 9
Cadangan Operasional minimum LPG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c merupakan Cadangan Operasional selama 3 (tiga) hari Ketahanan Stok (Coverage Days) pada:
a. Terminal LPG; dan
b. Stasiun Pengisian Bulk LPG (SPBE) atau Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk LPG (SPPBE), untuk suatu Wilayah Distribusi LPG.
Pasal 10
(1) Kebutuhan minimum pelanggan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d merupakan kebutuhan pelanggan Gas Bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari kebutuhan normal pelanggan Gas Bumi pada suatu Wilayah Distribusi Gas Bumi.
(2) Kebutuhan normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah rata-rata kebutuhan Gas Bumi per hari pada tahun sebelumnya.
Bagian Ketiga
Krisis Energi dan/atau Darurat Energi
Paragraf 1
Krisis Energi dan/atau Darurat Energi
Berdasarkan Kondisi Teknis Operasional
Pasal 11
Krisis Energi ditetapkan apabila pemenuhan:
a. Cadangan Operasional minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, atau Pasal 9; atau
b. kebutuhan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, tidak terpenuhi dan tidak tertanggulangi oleh Badan Usaha.
Pasal 12
Krisis BBM berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan apabila pemenuhan Cadangan Operasional minimum BBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diperkirakan tidak terpenuhi dan tidak tertanggulangi oleh Badan Usaha selama lebih dari 30 (tiga puluh) hari ke depan.
Pasal 13
Krisis Tenaga Listrik berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan apabila:
a. teijadi pemadaman dalam 3 (tiga) hari berturut-turut akibat pengurangan beban (load curtailment) yang
diperkirakan akan terus berlanjut lebih dari 30 (tiga puluh) hari; dan
b. tidak terpenuhi Cadangan Operasional minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan diperkirakan tidak tertanggulangi oleh Badan Usaha selama 1 (satu) tahun ke depan untuk memenuhi kebutuhan pasokan
pada suatu Sistem Setempat.
Pasal 14
Krisis LPG berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan apabila pemenuhan Cadangan Operasional minimum LPG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diperkirakan tidak terpenuhi dan tidak tertanggulangi oleh Badan Usaha selama lebih dari 30 (tiga puluh) hari ke depan.
Pasal 15
Krisis Gas Bumi berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan apabila pemenuhan kebutuhan minimum
pelanggan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diperkirakan tidak terpenuhi dan tidak tertanggulangi oleh Badan Usaha selama lebih dari 6 (enam) bulan ke depan.
Pasal 16
(1) Darurat Energi berdasarkan kondisi teknis operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi:
a. darurat BBM;
b. darurat Tenaga Listrik;
c. darurat LPG; dan
d. darurat Gas Bumi.
(2) Darurat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan dan lamanya waktu penanganan dalam hal terjadi:
a. keadaan kahar {force majeure);
b. gangguan keamanan; dan/atau
c. kecelakaan teknis pada Sarana Energi dan
Prasarana Energi.
(3) Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan keadaan memaksa secara fisik atau nonfisik di luar kendali Badan Usaha, sehingga mengakibatkan gangguan nyata terhadap operasi Sarana Energi dan Prasarana Energi.
(4) Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Badan Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Darurat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan apabila gangguan pada Sarana Energi dan/atau Prasarana Energi diperkirakan tidak dapat dipulihkan oleh
Badan Usaiha selama lebih dari 3 (tiga) bulan ke depan.
Pasal 18
Krisis Energi dan/atau Darurat Energi berdasarkan kondisi teknis operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 17 ditetapkan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi Sidang Anggota.
Paragraf 2
Krisis Energi dan/atau Darurat Energi
Berdasarkan Kondisi Nasional
Pasal 19
(1) Krisis Energi dan/atau Darurat Energi berdasarkan kondisi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b ditetapkan jika mengakibatkan:
a. terganggunya fungsi pemerintahan;
b. terganggunya kehidupan sosial masyarakat;
dan/atau
c. terganggunya kegiatan perekonomian.
(2) Krisis Energi dan/atau Darurat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan besarnya eskalasi dampak Krisis Energi dan/atau Darurat Energi berdasarkan kondisi teknis operasional yang diukur secara nasional.
Pasal 20
Krisis Energi dan/atau Darurat Energi berdasarkan kondisi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ditetapkan oleh Presiden atas usulan Menteri berdasarkan rekomendasi Sidang Anggota.
BAB IV
IDENTIFIKASI DAERAH POTENSI
KRISIS ENERGI DAN/ATAU DARURAT ENERGI
Pasal 21
(1) Untuk mengantisipasi potensi Krisis Energi dan/atau Darurat Energi, Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal
Dewan Energi Nasional, dan Kepala Badan Pengatur sesuai dengan kewenangannya serta pimpinan Badan
Usaha melakukan identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi baik langsung ataupun tidak langsung.
(2) Identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
a. identifikasi ketersediaan dan kebutuhan energi di seluruh wilayah usaha;
b. pengumpulan data peta spasial infrastruktur energi untuk diintegrasikan dalam implementasi kebijakan satu peta {one map policy) Menteri; dan
c. penyusunan rencana langkah-Iangkah penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat
Energi.
(3) Kegiatan identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dan dapat melibatkan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pihak Iain yang terkait.
(4) Kegiatan identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara berkala setiap tahun dan sewaktuwaktu jika diperlukan.
Pasal 22
Dalam rangka mengantisipasi kesiapan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi, Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Kepala Badan Pengatur, dan pimpinan Badan Usaha melakukan simulasi langkah-Iangkah penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi.
Pasal 23
Dalam rangka identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) dan/atau untuk mengantisipasi kesiapan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Kepala Badan Pengatur, dan pimpinan Badan Usaha dapat
melakukan:
a. pemetaan peluang keija sama internasional; dan/atau
b. kerja sama dengan pihak lain dalam membangun sistem
tanggap darurat Energi (emergency response system).
Pasal 24
Dalam melaksanakan identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi, Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), sesuai dengan kewenangannya, membentuk tim asistensi penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi,
Pasal 25
Identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, dilaksanakan oleh unit kerja di lingkungan Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional yang mempunyai fungsi fasilitasi penetapan langkah penanggulangan Kondisi Krisis dan/atau Darurat Energi sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 26
Identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) yang dilakukan oleh Kepala Badan Pengatur, dilaksanakan oleh unit kerja di lingkungan Badan Pengatur sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 27
Identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) yang dilakukan oleh Pimpinan Badan Usaha dilaksanakan sesuai dengan standar operasi prosedur Badan Usaha.
Pasal 28
(1) Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Kepala Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 melaporkan pelaksanaan identifikasi dan
pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi kepada Menteri secara berkala setiap tahun dan sewaktu- ‘waktu apabila diperlukan, dengan ditembuskan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional.
(2) Pimpinan Badan Usaha melaporkan pelaksanaan identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan
kebutuhan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 kepada Direktur Jenderal sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 29
(1) Berdasarkan laporan basil identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional mengoordinasikan penentuan daerah yang berpotensi memenuhi kondisi Krisis Energi
dan/atau Darurat Energi.
(2) Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional melaporkan hasil penentuan daerah yang berpotensi memenuhi kondisi Krisis Energi dan/atau Darurat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan
Energi Nasional
Pasal 30
(1) Gubemur dan/atau pimpinan Badan Usaha dapat menyampaikan usulan penetapan Krisis Energi dan/atau
Darurat Energi kepada Menteri melalui Direktur Jenderal sesuai dengan kewenangannya.
(2) Usulan Gubernur dan/atau Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi laporan ketersediaan dan kebutuhan energi masyarakat setempat.
(3) Laporan ketersediaan dan kebutuhan energi masyarakat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. kondisi permasalahan penyediaan energi;
b. kondisi Sarana Energi atau Prasarana Energi; dan
c. usulan penanggulangan jangka pendek dan jangka panjang.
(4) Direktur Jenderal melakukan evaluasi usulan penetapan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 31
Hasil evaluasi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) merupakan bagian dari hasil identifikasi dan pemantauan kondisi penyediaan dan kebutuhan energi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).
BAB V
TATA CARA TINDAKAN PENANGGULANGAN KRISIS ENERGI DAN/ATAU DARURAT ENERGI
Pasal 32
(1) Menteri melaksanakan tindakan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi.
(2) Dalam pelaksanaan tindakan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri berkoordinasi dengan:
a. menteri atau kepala lembaga pemerintahan nonkementerian terkait;
b. gubemur dan bupati/walikota;
c. pimpinan lembaga penegak hukum;
d. pimpinan Badan Usaha; dan
e. pihak lain yang terkait, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Menteri melaporkan perkembangan pelaksanaan tindakan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden
Pasal 33
(1) Tindakan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (1) merupakan tindakan dalam keadaan tertentu yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda dan hams
dilakukan segera sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pertimbangan dalam pemberian kemudahan paling sedikit mengenai perizinan, pengadaan barang dan jasa, dan pembebasan lahan untuk pelaksanaan tindakan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi.
(3) Pemberian perizinan, pengadaan barang dan jasa, dan pembebasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Tindakan penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi berakhir dalam hal telah terpenuhi dan
dipulihkan sesuai kondisi penyediaan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
dan Pasal 10.
(2) Berakhirnya Krisis Energi dan/atau Damrat Energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan pemndang-undangan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri yang terkait dengan penanggulangan kelangkaan atau kekurangan pasokan energi yang telah ditetapkan sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan