Jakarta,ruangenergi.com– Ada sisi menarik terangkum ketika berlangsung acara Human Capital Summit 2023 di Jakarta Convention Center, Selasa (21/3/2023). Apa itu? Ternyata baru ketahuan, dari curhatan pelaku industri khususnya hulu migas yang mengeluh minimnya tenaga kerja siap pakai, berkompetensi, memiliki sertifikasi untuk bisa mengoperasikan peralatan yang ada di dalam kegiatan operasi produksi hulu migas.
Kata mereka, susah sekali mendapatkan roustabout yang bersertifikat migas untuk bekerja di oil platform. Padahal, dengan massive-nya kegiatan pengeboran di hulu migas yang dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama (K3S) migas, membutuhkan rig dan otomatis membutuhkan pekerjanya.
Ada kejadian lucu, sekaligus menyedihkan diceritakan oleh salah satu petinggi di asosiasi pengeboran migas di Indonesia, betapa langkanya mencari roustabout, floorman dan sebagainya yang siap pakai, menyebabkan perusahaan jasa pengeboran hulu migas terpaksa mencari tenaga kerja yang mau bekerja dan dididik cepat agar bisa mengerti tata cara pengeboran di lapangan migas.
Mereka mencari keliling daerah operasi migas untuk mengajak pemuda setempat mau bekerja di lapangan migas. Apa lacur, susah karena kebanyakan pemuda di situ lebih suka bekerja di restoran dan kedai kopi ketimbang berpanas-ria di ladang migas.
Industri migas kalah bersaing dengan industri pariwisata dan food. Pekerjaan kasar sebagai tenaga pengeboran di lapangan migas dihindari oleh kebanyakan pemuda setempat. Lebih enak kerja di cafe atau restoran, sudah wangi, ruangan kerja dingin dan enak gak panas-panasan di lapangan.
Lain lagi cerita dari kawan yang bergerak di bidang energi terbarukan, mereka kekurangan tenaga kerja yang mampu memasang katakanlah solar panel secara tepat dan cepat. Tenaga kerja yang bersertifikat untuk bisa memasang peralatan panel surya.
Keadaan ini tidak jauh beda dengan industri tambang dan smelter. Mereka sulit mendapatkan tenaga kerja bersertifikat untuk bisa mengoperasikan peralatan tambang maupun smelter.
Jadi jangan heran, ketika di suatu daerah pertambangan di Indonesia banyak tenaga kerja asing di datangkan oleh perusahaan tambang, ketimbang memasukan penduduk setempat. Ini dikarena faktor tenaga kerja bersertifikat yang tidak dimiliki oleh tenaga lokal setempat.
Kecelakaan Kerja
Jangan heran juga ketika angka kecelakaan kerja di industri migas ataupun tambang terjadi dan meningkat jumlah kecelakaannya. Ini patut diduga lebih dikarenakan human error.
Kok bisa? Nah teman bercerita, betapa di ladang migas saking butuhnya roustabout, membuat mereka mengajak tukang ojek kerja untuk mengebor sumur migas. Sat set sat set, si babang ojek dilatih memegang peralatan bor. Dilatih sekali tidak lulus, dilatih lagi dua kali tidak lulus, eh terpaksa diluluskan karena tidak ada yang melamar untuk posisi itu kecuali babang ojek tadi.
Ironis memang. Di satu sisi permintaan peralatan pengeboran migas meningkat, namun di sisi lain tidak diimbangi dengan ketersedian tenaga kerja berpengalaman dan bersertifikat keahlian migas.
Ada baiknya pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Tenaga Kerja memassive kan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang siap pakai dan bersertifikat alias memiliki kompetensi untuk sektor energi dan sumber daya mineral.
Jangan sampai tingginya permintaan peningkatan produksi migas dengan target 1 juta bopd minyak dan 12 bscf gas, gagal akibat langkanya tenaga kerja migas yang trampil, bersertifikat.
Begitu pula untuk industri tambang, jangan teriak-teriak tenaga asing masuk ke industri tambang, lebih dikarenakan tenaga kerja lokal tidak kompeten untuk bisa kerja di tambang.
Sudah saatnya pemerintah menyiapkan tenaga kerja bukan saja well educated, namun juga memiliki kompetensi tinggi sehingga bisa diserap secara tinggi oleh industri termasuk di sektor energi dan sumber daya mineral.
Godang Sitompul, Pemimpin Redaksi