Jakarta,ruangenergi.com-Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sedang menghitung kebutuhan akan gas guna mendukung konversi pembangkit listrik tenaga diesel ke pembangkit tenaga gas yang ada di Indonesia.
Termasuk juga menghitung kebutuhan akan gas untuk smelter tambang dan proyek hilirisasi mineral yang digagas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).
“Ini yang sedang dikerjakan. Data-data usulan yang disampaikan masih perlu diverifikasi supaya tidak tumpang tindih. Termasuk untuk konversi (pembangkit listrik) diesel, ada yang bisa dipenuhi dari gas pipa, dari PGN, dan berapa dari LNG masih dihitung,” kata Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com,Selasa (09/05/2023) di Jakarta.
Mengutip situs migas.esdm.go.id, Pemerintah Indonesia c.q Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, terus berupaya meningkatkan produksi migas. Di sisi lain, Pemerintah juga berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Dengan kedua target tersebut, Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization Storage (CCUS), serta pemanfaatan gas bumi bisa menjadi enabler dalam upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.
“Saat ini adalah periode yang sangat menantang bagi inisiatif transisi energi di Indonesia, di mana peran energi fosil khususnya gas bumi, dalam energi transisi masih dibutuhkan, selain terus mendorong penggunaan dan pemanfaatan energi yang bersumber dari energi terbarukan,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji ketika membuka acara MGTC Spesial G20.
Peranan gas bumi terlihat dari porsi pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri di tahun 2021 sebesar 64,32% dari total produksi untuk pemenuhan kebutuhan domestik seperti industri sebesar 27,52%, kelistrikan sebedar 11.86%, lifting 2,93%, pupuk mencapai 11.89%, domestik LNG sebesar 8,36%, domestik LPG 1,54%, BBG 0,07% dan city gas 0,15%.
Sementara peran subsektor minyak dan gas bumi yang masih terasa saat ini, khususnya di Indonesia, antara lain minyak sebagai energi utama untuk sektor transportasi, gas alam dimanfaatkan sebagai transisi energi sebelum PP kebijakan penggunaan 100% energi baru dan terbarukan diterapkan.
“Selain itu, gas alam digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik seperti bahan bakar transportasi, bahan baku, industri dan rumah tangga,” jelas Tutuka.
Untuk meningkatkan peran migas dalam transisi energi, Pemerintah telah melakukan berbagai strategi yaitu peningkatan cadangan migas melalui optimasi produksi dari lapangan eksisting, transformasi dari cadangan menjadi produksi, akselerasi chemical EOR, eksplorasi masif untuk menemukan cadangan baru, gas alam dimanfaatkan sebagai transisi energi dan aplikasi pelaksanaan CCS/CCUS.
Lebih lanjut Tutuka menjelaskan, Indonesia telah berkomitmen pada Perjanjian Paris dan telah mengembangkan skenario NZE pada tahun 2060 atau lebih awal, melalui adopsi penetrasi energi terbarukan yang agresif, di tengah penurunan peran bahan bakar fosil, terutama batubara, mulai dari tahun 2030 dan seterusnya. Namun demikian, masalah yang dihadapi terkait implementasi NZE terletak pada biaya tambahan yang signifikan untuk pelaksanaannya, di mana Indonesia telah secara terbuka menyatakan akan membutuhkan bantuan dan dukungan besar dari negara-negara maju.