wk masela

Masuknya Masela Menambah Portofolio Bisnis LNG Internasional Indonesia

Jakarta,ruangenergi.com– Pengembangan Lapangan Abadi di Blok Masela merupakan bentuk monetasi cadangan gas nasional yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai salah satu pilar Ketahanan Energi Nasional.

Bentuk negara kepulauan Indonesia, dengan perbedaan lokasi dan jarak antara sumber cadangan energi dengan sentra industri dan populasi-nya, membuat Indonesia sangat sensitif terhadap ketersediaan dan kehandalan pasokan energi lintas pulau dan provinsi.

Sementara itu cadangan gas nasional dengan skema bisnis LNG yang sudah termonetasi dan masih berproduksi tinggal Bontang dan Tangguh. Indonesia masih harus terus membangun pilar-pilar ketahanan energi nasional-nya.

Momentum atau timing monetasi menjadi sangat critical. Pertamina pernah menjadi leader LNG business dunia. Sekarang dinilai tenggelam karena kehabisan cadangan gas dan terlambatnya monetasi cadangan yang ada.

“Masuknya Masela tentunya selain memperkuat pilar ketahanan energi nasional juga menambah portfolio bisnis LNG International Indonesia”, kata praktisi migas dan LNG Ginanjar Sofyan dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com, Sabtu (08/07/2023) di Jakarta.

Pendiri Pertamina Power Indonesia dan pencetus gagasan NRE Pertamina ini menambahkan, bahwa kembalinya PERTAMINA ke bisnis LNG Global dengan skala besar akan memberikan sinyal positif kepada Jepang, dan bahkan Korea, mitra dan pembeli klasik LNG INDONESIA. Ini menyangkut ketahanan energi nasional mereka juga.

“Letak geografis Indonesia juga faktor kunci Indonesia/Pertamina menjadi preferable supplier bagi Jepang. Kedua pihak mempunyai model bisnis LNG yang unik yang dibangun hampir 40 tahun. Ini juga akan membantu marketability sekaligus feasibility proyek”, Ginanjar tambahkan.

Ditanya mengenai masuknya Petronas dalam skema bisnis Masela, Ginanjar menuturkan, Pertamina dan Petronas adalah pemain klasik LNG, a key player di Asia-Pacific Basin.

“Ini justru memperkuat model Multi-Source LNG Supply Indonesia karena Petronas/Malaysia juga mempunyai asset LNG yang masih berproduksi, dan Petronas cukup agresif dalam mengembangkan portfolio bisnis-nya. Pembeli pasti merasa aman dan leverage Pertamina-Petronas naik dimata market,” urai pria yang gemar olahraga tenis.

Pengembangan Abadi-Masela

Pengembangan Abadi-Masela bukan hanya menyangkut partnership, ada masih ada aspek-aspek critical lain yang harus segera diselesaikan; teknologi, pasar dan juga pendanaan proyek serta kemampuan finansial para anggota konsorium.

“Tiga (3) hal yang menjadi PR (pekerjaan rumah) para pengambil keputusan. Namun ada satu hal lain dalam case sumber daya energi, yang sering menjadi deal breaker. Cadangan gas; siapa pemilik, pemegang hak dan seberapa besar say-nya? Ini critical karena akan menentukan arah proyek, termasuk skema proyek. Salah langkah….bubar, atau paling tidak proyek delay,” ungkap Ginanjar dengan wajah serius.

Terkait 3 hal utama lainnya Ginanjar menjelaskan: 1. Teknologi: Siapa yang mempunyai kapabilitas teknologi? Dan siapa yang mempunyai kapabilitasi operationalship-nya? Bagaimana konsorsium akan memutuskan? 2. Financing: LNG adalah project High Investment & High Risk. Funders akan sangat cermat dan bahkan konservatif dalam menilai kapabilitas para anggota konsorsium. 3. Market: Harga akan sangat terpengaruh oleh 2 + 1 aspek diatas. No luxury.

Semua aspek diatas harus di-composed dengan cermat. Otherwise monetasi akan tertunda, yang rugi kita sendiri, bukan hanya masalah monetasi dalam perspektif kepentingan bisnis, tapi juga ketahanan energi nasional.

“LNG adalah elemen energi berbasis gas yang paling fleksible dan mobile dibanding gas pipa dan skema bisnis gas lainnya. Dan ini juga fit dengan karakteristik negeri kita sebagai negara kepulauan.Dan juga, dengan makin conern-nya dunia atas isu lingkungan, LNG atau gas, meskipun berbasis fossil menjadi media transisi energi yang paling bisa diandalkan, dari sisi kapasitas dan juga mobilitas-nya,” jelasnya.

Ditanya lebih jauh mengenai pengalaman proyek-proyek delay di Pertamina dan potensi delay di Masela, Ginanjar menjelaskan bahwa, delayed project dibagi dalam 2 (dua) tahapan.

“Supaya clear and clean, project development kita bagi kedalam 2 tahapan berbeda, termasuk juga dalam konteks delay. Otherwise, para eksekutor project suka bersembunyi di daerah abu-abu kedua tahapan tersebut: 1. Delay monetasi cadangan gas 2. Project construction delay,” urai pria yang gemar makan lobster ini.

Delay Tahap 1 biasanya,lanjut Ginanjar, lebih disebabkan oleh lamanya kesepakatan serta keputusan di tingkat elite mengenai skema bisnis: Komposisi entitlement antara pemilik cadangan dengan konsorsium pengembang, komposisi PI, pembagian role dan leadership konsorsium, serta skema project.

Delay Tahap 2 lebih disebabkan oleh incompetency di tingkat project execution dan eksekutor proyek. Pertamina punya tradisi ini, bahkan di proyek-proyek dengan tingkat kompleksitas medium dan rendah.

“Di LNG Masela, karena deep water, kita harus cermat dalam memilih supporting partners dan dalam pemilihan serta penempatan orang-orang dengan skill dan kapabilitas terbaik. Permasalahan di kedua area tersebut, sendiri-sendiri atau combined, akan menyebabkan kita kehilangan momentum antara designed project dengan siklus market. Akan sangat mempengaruhi keekokomian proyek,”pungkasnya sembari menyeruput kopi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *