Jakarta,ruangenergi.com– Ketika Indonesia melarang ekspor ore, akibatnya industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya mengalami kenaikkan permintaan.
Ini menunjukkan hilirisasi terus meningkat di Indonesia dari tahun ke tahun. Buktinya, nilai investasi industri logam ini meningkat dari 177,9 persen dalam waktu 4 tahun terakhir.
Hilirisasi sumber daya alam menjadi komoditas dimana pengolahan nikel menjadi baterai kendaraan listrik.
“Investasinya ada di Sulawesi Tengah, Maluku Utara,Sulawesi Tenggara. Di mana investasi yang bekerjasama dengan BUMN, dengan swasta nasional bidang industri prekursor, katoda, dan baterai listrik. Begitu juga gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME). Rencana investasi bekerjasama dengan BUMN dan swasta nasional di bidang industri batubara serta turunannya kita dorong yang ada di Sumatera Selatan,” kata Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara Kementerian Investasi/BKPM RI Hasyim dalam webinar bertajuk “Peluang Investasi Hilirisasi Sektor Mineral. Pengembangan Produk Nilai Tambah Tinggi Untuk Komoditasi Nikel dan Bauksit”, Senin (14/08/2023) di Jakarta.
Termasuk hilirisasi pengolahan gas alam menjadi metanol dan pupuk di Fakfak, Papua Barat dan Bojonegoro, Jawa Timur.
Hasyim menjelaskan, transformasi ekonomi dari industri sektor primer ke industri berbasis nilai tambah (hilirisasi) sudah ditandai dengan larangan ekspor nikel ore di tahun 2020. Termasuk larangan ekspor Bauksit di tahun 2023 ini.
“Kita dorong terus untuk menjadi hilirisasi fokus ke barang industri lainnya,” papar Hasyim dengan tegas.
Pemerintah,lanjutnya, telah susun roadmap hilirisasi investasi strategis, dengan 21 komoditas.
“Di direktorat mineral dan batubara Kementerian Investasi, memproyeksikan ada 8 komoditas di hilirisasi nilai tambah ekonominya di tahun 2023 hingga 2040 menjadi US$431,8 miliar. Komoditasnya diantaranya ada batubara, nikel, tembaga, timah, bauksit,besi baja, emas-perak, Aspal Buton,” beber Hisyam.
Sebaran potensi hilirisasi investasi strategis yang ada di Indonesia, tidak hanya dari mineral dan batubara saja, tapi memiliki sumber daya alam di sektor-sektor perkebunan, kelautan, perikanan dan kehutanan.
“Saat ini Indonesia memiliki cadangan Nikel nomor satu di dunia, namun belum menjadi eksportir utama di produk turunan Nikel. Kita lihat rantai pasok, kita tahu saat ini punya cadangan yang begitu besar. Namun kita belum bisa jadi pemain di nikel sulphate, precursor battery, dan sampai di battery pack nya,” ungkap Hasyim.
Tiongkok Kuasi Pasar Produk Turunan Nikel
Dia membeberkan fakta, Tiongkok lebih menguasai pasar untuk produk-produk turunan nikel. Walaupun begitu, Tiongkok menjadi importir terbesar untuk produk turunan nikel.
“Kita berharap dengan hilirisasi ini, kita juga bisa memposisikan diri jadi pemain di eksportir nikel sulphate, precursor battery, hingga battery pack nantinya apabila industri hilirisasi ini terbangun,” jelasnya.
Tiongkok, urai Hasyim, negara terbesar bahan baku nikel serta menjadi 5 besar negara importir nikel sulphate dan precursor battery. Kemudian menjadi negara terbesar produsen battery pack.
Hasjim mendiskripsikan Pohon Industri Nikel dimana sangatlah tidak ekonomis jika Indonesia hanya bermain di ore saja, maka nilai tambah hanya 2 hingga 4 kali lipat saja.
Akan tetapi, jika Indonesia mampu membangun industri hilirisasinya, sampai ke battery ev (electric vehicle), maka nilai tambah bisa mencapai 67 kali lipat.
“Sasaran prioritas kita adalah untuk masuk memproduksikan stainless steel dimana demand (kebutuhan/permintaannya) kurang lebih US$365 miliar. Begitu juga dengan battery ev, diproyeksikan hingga 2045 sebesar US$5,91 triliun,” papar Hasjim lagi.
Dampak Ekonomi Hilirisasi
Hisyam optimis dampak ekonomi apabila terjadi hilirisasi industri ini terlaksana, nantinya akan ada investasi yang cukup tinggi, tenaga kerja diproyeksikan akan terus meningkat, PDB (produk domestik bruto) bertambah untuk produk-produk bahan jadi.
Kementerian Investasi/BKPM, urai Hisyam, memberikan rekomendasi kebijakan hilirisasi investasi strategis. Untuk perdagangan, rekomendasi kebijakannya adalah pelarangan ekspor komoditi mentah, penerapan bea keluar untuk komoditas mentah produk antara. Menyepakati perjanjian dagang dengan pasar utama ekspor produk hilir.
Insentif fiskal tambahan untuk hilirisasi, rekomendasi kebijakannya adalah subsidi berbasi produksi di hilir (seperti di India), pemotongan royalti tambang bagi pelaku hilirisasi, pemotongan PPN untuk produk hilir.
Pembiayaan untuk investasi hilirisasi domestik, rekomendasi kebijakannya adalah Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) wajib memberikan kredit kepada investor dalam negeri dengan relaksasi syarat equity awal minimum.
Promosi dan kerjasama investasi, rekomendasi kebijakannya adalah promosi kepada investor pemain global di produk hilir. Misal, Hanwa, Solar World, JA Sola, Frist Solar untuk hilirisasi bauksit menuju panel surya.
Penguasaan teknologi pemain hilir domestik, rekomendasi kebijakannya adalah pembelian lisensi teknologi hilir asing untuk dikembangkan dalam negeri, dengan kolaborasi riset antara pemerintah (BRIN), perguruan tinggi dan swasta.
Regulasi lainnya, rekomendasi kebijakannya adalah harmonisasi dan penguatan implementasi regulasi terkait hilirisasi, misalnya Permen ESDM 26 tahun 2021 tentang panel surya atap untuk hilirisasi bauksit. Pencapaian proyek hilirisasi sebagai PSN (proyek strategis nasional).
Kebijakan Hilirisasi Konsisten Sejak Awal 2020
Terpisah, Septian Hario Seto,Deputi Investasi dan Pertambangan, Kemenko Marves, menjelaskan bahwa kebijakan hilirisasi nikel baru dilaksanakan konsisten sejak awal 2020.
“Perlu diingat kebijakan hilirisasi nikel baru dilaksanakan secara konsisten sejak awal 2020, ketika pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel. Sebelumnya pernah ada pelarangan, namun tahun 2017-2019 sempat diizinkan kembali ekspor bijih nikel. Jadi baru kurang lebih 3 tahun kebijakan hilirisasi nikel ini,” urai Seto-sapaan akrab deputi di Kemenko Marves tersebut- dalam tulisannya menanggapi kritik ke ekonom senior Faisal Basri.
Seto menguraikan juga dampak konsistensi hilirisasi nikel ini selain sektor besi baja. Dampaknya, Indonesia mampu menarik investasi-investasi baru dalam bidang baterai lithium.
“Nikel kadar rendah kita yang sebelumnya tidak dipakai, saat ini bisa diproses menjadi Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang merupakan bahan baku utama baterai lithium. Bayangkan barang yang tadinya hanya sampah, saat ini bisa diproses menghasilkan bahan baku lithium baterai. Pastinya nilai tambahnya sangat besar,” urai Seto dalam tulisannya itu.
Perlu diketahui, lanjut Seto, bahwa untuk membuat baterai lithium membutuhkan ekosistem industri yang kompleks. Tidak hanya dibutuhkan nikel, tetapi juga produk hilirisasi cobalt, aluminum, tembaga, lithium dan lain-lain. Tidak semuanya ada di Indonesia bahan bakunya. Ekosistem inilah yang saat ini sedang kita bangun di Indonesia. Semuanya sedang berproses dan tidak mudah.
Hasilnya, saat ini Indonesia sedang membangun lithium refinery di Morowali, yang bahan mentah lithiumnya diimpor dari Australia dan Afrika.
“Kita juga sedang membangun pabrik copper foil untuk bahan lithium baterai, lokasinya persis didepan smelter tembaga yang dibangun Freeport di Gresik. Kita juga sedang membangun pabrik Anoda di Morowali juga dengan kapasitas 80 ribu ton, dimana pabriknya belum selesai tapi 100% produknya sudah dipesan semua. Mereka tidak perlu pusing mencari pembeli,” paparnya.
Antam,jelas Seto, saat ini sedang memfinalkan negosiasi dengan CATL dan LG Chemical, dua perusahaan baterai terbesar didunia, untuk membangun ekosistem baterai lithium dari hulu sampai hilir. Tidak mudah untuk meyakinkan para investor tersebut, dan negosiasi bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Untuk pabrik baterai sendiri, Indonesia akan memiliki pabrik baterai lithium (cell dan pack) pada tahun depan, saat pabrik baterai lithium yang dibangun LG dan Hyundai selesai konstruksi. Kapasitasnya sekitar 10GWh, cukup untuk membangun 120ribu mobil EV.
“Kami sudah melakukan mapping supply chain untuk baterai lithium dan mana saja target investasi yang akan kita peroleh. Sebagai Deputi Investasi dan Pertambangan di Kemenko Marves, saya banyak bertemu dengan berbagai macam investor baik dari sektor keuangan ataupun pemain dalam industrinya. Dari berbagai pertemuan tersebut, semuanya menyatakan apresiasi atas transformasi struktural melalui hilirisasi nikel ini. Tidak sedikit yang menyampaikan minatnya untuk melakukan investasi tambahan meskipun bukan dalam sektor nikel. Saat ini Pemerintah sedang memproses investasi strategis dalam bidang petrokimia, solar panel dan fiberglass. Semuanya memiliki turunan industri yang sangat banyak,” tulis Seto dengan jelas.
Seto dengan tegas menuliskan, jika dunia internasional saja mengapresiasi upaya Presiden Jokowi melakukan hilirisasi ini, sangat disayangkan masih ada orang-orang di dalam negeri yang mengkritik tanpa dasar, apalagi sampai bilang Presiden Jokowi menyampaikan data yang menyesatkan.
“Terakhir, ada satu pertanyaan yang cukup banyak saya peroleh akhir-akhir ini, yaitu bagaimana kelanjutan program hilirisasi dan transformasi ekonomi setelah Presiden Jokowi selesai pada tahun 2024? Pertanyaan seperti ini cukup bertubi tubi saya terima. Jawabannya tentu saja akan berlanjut karena ini sudah menjadi program pemerintah. Meskipun saya tidak tahu apakah para investor ini puas dengan jawaban saya.Masih banyak kekurangan dari program hilirisasi yang kita lakukan saat ini, oleh karena itu kritik dan masukan tetap kami butuhkan. Tentunya dengan dasar dan analisis yang jelas dan tidak asal tuduh apalagi sampai menyebutkan data yang Presiden Jokowi sampaikan menyesatkan,” jelas Seto dalam tulisannya tersebut.