Jakarta,ruangenergi.com- Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mempelajari keinginan dari PT Pertamina (Persero) lewat sub holding upstream PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang meminta pindah dari gross split ke cost recovery.
Ditjen Migas memastikan pihaknya akan menerbitkan Peraturan Menteri terbaru yang akan mengatur perpindahan skema kontrak menjadi Simplified Gross Split.
“Kita keluarkan (aturannya), mudah-mudahan bisa kalu nggak bulan ini bulan depan. Peraturan Menteri (Permen) baru tentang gross split jadi simplified gross split. Jadi, parameter yang lama banyak, jadi hanya 3,”kata Tutuka kepada wartawan di sela-sela konferensi pers Capaian Kinerja Kesdm Tahun 2023, Senin (15/01/2024), di Jakarta.
Menurut Tutuka jika aturan yang mengatur simplified gross split sudah terbit, maka perusahaan minyak dan gas bumi (migas) bisa mengajukan perpindahan skema kontrak tersebut.
“Kadang-kadang kalau pakai gross split terus kadang-kadang satu lapangan itu nggak bisa, kasih 100% pun untuk KKKS tetap negatif. Jadi harus pindah mungkin. Itu sebenarnya simplified gross split tujuan utamanya untuk MNK unconventional. Misalnya (skema) cost recovery KKKS enggan. Jadi dia maunya cepat dari tax royalti, belum ada di Indonesia kan,”urai Tutuka dengan raut wajah serius.
Dalam catatan ruangenergi.com, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melihat filosofi kenapa kontraktor kontrak kerjasama (K3S) migas enggan mengambil resiko eksplorasi yang sangat tinggi karena faktor biaya.
Itu sebabnya K3S migas maunya cost recovery. Resiko itu ditanggung keduabelah pihak.
“Tapi kalau fix, gak banyak pengembangan yang beresiko maka gross split gunanya. Oleh karena itu kalau K3S mendapat lapangan migas, maka dia melakukan studi mana yang cocok (gross split atau cost recovery),” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam Konferensi Pers Awal Tahun 2024 Kinerja Hulu Migas Tahun 2023, Jumat (12/01/2024), di Jakarta.
Perubahan itu, lanjut Dwi, dimungkinkan karena mengikuti fiscal term yang lebih fleksibel. Namun tetap kepentingan negara yang nomor satu..
“Potensinya bisa tambah, pengembangan-pengembangan baru yang tidak terpikul pada saat gross split maka itu bisa dikonsider,”tukas Dwi.