Catatan dari Pri Agung Rakhmanto Terkait Pencapaian Target Bauran Energi EBET dan Pelaksanaan Transisi Energi

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com-Founder & Advisor ReforMiner Institute (Research Institute for Mining and Energy Economics) Pri Agung Rakhmanto mengatakan transisi energi sebetulnya dan semestinya dijadikan momentum untuk dapat menjadikan pengelolaan energi nasional secara lebih mandiri.

Tetapi jika mencermati arah kebijakan pengelolaan energi nasional yang ada hingga saat ini, khususnya dalam hal bagaimana kita akan menjalankan transisi energi itu dan dalam kaitannya dengan bagaimana kita mendorong lebih pengembangan dan pemanfaatan EBET, tampaknya hal itu akan sulit terwujud.

“Dalam hal ini, kita cenderung mengambil posisi minim di dalam melakukan investasi dan intervensi secara langsung, tetapi kita cenderung terlalu mengandalkan inisiasi dari pelaku usaha/investor dan atau pihak lain yang memiliki dana,” kata Pri Agung dalam bahan tertulis yang diterima ruangenergi.com, Kamis 15 Februari 2024, di Jakarta.

Pri menambahkan, komposisi anggaran pemerintah, dalam hal ini salah satunya anggaran di KESDM misalnya, mencerminkan hal itu.

Sebagaimana dapat dilihat, dari porsi untuk pembangunan infrastruktur dan SDA yang juga terbilang kecil (Rp. 2,33 T atau 34,45% total anggaran).Dari jumlah itu, porsi untuk mendorong pengembangan EBET secara langsung pun dapat dikatakan sangat minim (PLTS Rp. 99,54 M, PLTMH Rp. 54,46 M dan perencananan Rp. 31,98 M).

Dengan model komposisi anggaran yang semacam itu, wajar jika kemudian target bauran EBET 23% pada tahun 2025 kemungkinan besar tidak akan tercapai.

Jika pun angka target tersebut akan direvisi, katankanlah menjadi 17% – 19%, tidak ada jaminan bahwa angka itu akan dapat dicapai karena di dalam pencapaiannya pelaksanaannya yang secara langsung berada di dalam kendali pemerintah sendiri – melalui porsi anggaran dan invetasi/intervensi langsung – relatif kecil.
Pencapaian angka target bauran EBET akan lebih ditentukan pada bekerja atau tidaknya mekanisme pasar, dalam hal ini adalah ada/jadi atau tidaknya investasi yang direalisasikan oleh para pelaku usaha.

Jika pasar (pelaku usaha) dalam hal ini misalnya menentukan pilihan lain untuk investasinya, angka target bauran EBET dengan sendirinya akan selalu terpengaruh.

Lebih jauh terkait dengan aspek kemandirian, jika melihat kemungkinan pendanaan transisi energi melalui program JETP, berdasarkan informasi yang dihimpun, sebagian besar pendanaan akan dilakukan melalui mekanisme pinjaman konsesi.

” Dengan skema pendanaan yang mengandalkan pinjaman, dan terutama adalah model concessional loan semacam ini, keleluasaan kita untuk melaksanakan transisi energi, termasuk di dalamnya untuk melakukan optimalisasi sumber daya energi nasional sesuai kebutuhan nasional dan sesuai dengan potensi sumber energi yang kita miliki menjadi relatif terbatas.Persyaratan dan ketentuan penggunaan dari concessional loan tersebut dengan sendirinya akan mengacu pada objektif dari pemberi loan atau dari mana dana tersebut tersedia/diperoleh,”urai Pri.

Catatan akhir yang disampaikan Pri, Pemerintah dalam hal ini sebetulnya telah memiliki prinsip pengelolaan kebijakan nasional yang bagus, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.