Begini Kata Pakar tentang Penyebab EOR Tidak Jalan-Jalan di Indonesia

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com- Penyebab enhanced oil recovery (EOR) tidak jalan-jalan di Indonesia lebih dikarenakan keberanian dari banyak pihak.

Cuma keberanian di level managemen otoritas minyak dan gas untuk bersikap terhadap EOR cenderung tidak ada.

“EOR itu kan high risk, hasinya juga belum tentu. Takut dikemudian hari dipermasalahkan. Sehingga EOR Indonesia bisa jalan kalau pimpinan K3S dan pimpinan di SKK Migas adalah ‘orang gila’ artinya gak takut begitu,” kata Pakar EOR Dadan Rukmana dihadapan peserta acara Forum Kolaborasi Project Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan tema “Aspek Hukum Optimalisasi Produksi Minyak Bumi Melalui Enhanced Oil Recovery (EOR), Jumat (06/03/2024), di Jakarta.

Asosiasi Praktisi Hukum Minyak Gas Bumi dan Energi Terbarukan (APHMET) dan Komunitas Migas Indonesia (KMI) dengan menggandeng Fernandes Partnership menggelar acara Forum Kolaborasi Project Enhanced Oil Recovery (EOR) pada Jumat (08/03/2024), di Jakarta.

EOR tidak jalan-jalan karena takut mengambil keputusan dan kemudian hari dipermasalahkan. Itu saja masalahnya.

“Saya yakin sepuluh tahun ke depan tidak ada full scale EOR. Mungkin nanti anak cucu kita yang akan melanjutkan EOR ini,”ucap Dadan dengan raut wajah sedih campur kesal.

Dadang meminta juga agar legal aspect memberikan guidance, memberikan jalan atau referensi kepada pimpinan di K3S atau di SKK Migas untuk memutuskan agar EOR jalan.

“Kalau dari legalnya tidak ada jaminan bahwa ini mau dilaksanakan, sepuluh tahun..lima belas tahun tidak akan jalan ini EOR,” tegas Dadan.

Dalam catatan ruangenergi.com, Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET) menegasakan Enhanced Oil Recovery (EOR) investasi yang dinilai cukup besar, termasuk resiko cukup besar juga. Belajar dari pengalaman-pengalaman proyek besar yang strategis dimiliki Pemerintah Indonesia, untuk bisa menjamin proyek itu bisa berjalan perlu dibuat menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).

Sudah saatnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memasukan EOR ini ke dalam Proyek Strategis Nasional. Sama seperti proyek-proyek PSN lainnya, sudah waktunya Proyek EOR masuk ke dalam tataran PSN.

Kemudian, pabrikan/manufaktur yang memproduksikan Chemical EOR sebaiknya pembiayaan dimasukan ke dalam Skema Upstream (hulu).

APHMET menilai perangkat-perangkat hukum seperti Production Sharing Contract (PSC), term and condition diharapkan sesuai dengan kebutuhan EOR itu sendiri. Harus dibedakan term and condition (T&C) konvensional.

Mengenai penerapan EOR di dalam skema Cost Recovery (CR) maupun Gross Split (GS), dapat dipastikan semua menjadi Barang Milik Negara (BMN).

“Bahwa ketika dia (EOR) dibeli, maka capital expenditure (capex) langsung menjadi Barang Milik Negara. Tinggal kemudian Pemerintah membuka dan menghitung, apakah menurut Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menguntungkan di GS-kan, atau lebih menguntungkan di CR-kan? Antara CR atau GS, kan itu pilihan, jangan dikatakan ini lebih baik dari itu, dan itu lebih baik dari ini. Mari kita pikirkan. Di LNG saja bisa pakai trustee borrowing scheme. Nah apakah mungkin di EOR ini pakai trustee borrowing scheme sehingga yang minjamkan uang terjamin pengembaliannya dari skema hulu (upstream) tadi,” tutur Didik.

Di sisi lain, lanjut Didik, ada point penting jika EOR dimasukan ke dalam Skema PSN, maka sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan bahwa semua proyek PSN itu dikawal oleh Jaksa Muda Bidang Intelijen (Jamintel). Sehingga nanti PSN dikawal dan resiko untuk dikriminalisasi akan berkurang.