Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah disarankan untuk segera menggenjot penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di tengah risiko kenaikan harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar Rupiah. Pasalnya dengan kendaraan listrik dapat mengurangi konsumsi BBM yang berpotensi naik signifikan.
Hal ini disampaikan Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, di Jakarta, Kamis (25/4).
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan EV sebagai langkah alternatif untuk mengurangi konsumsi BBM di tengah melambungnya harga minyak dunia dan melemahnya rupiah terhadap dollar Amerika.
“Dengan demikian, subsidi energi bisa ditekan dan mengurangi beban fiskal negara,” ujar Abra.
Dikatakan Abra, penggunaan kendaraan listrik bakal menekan penggunaan bahan bakar minyak yang selama ini menyedot anggaran APBN.
“Saran tersebut bagus untuk pemerintah agar subsidi energi bisa tepat sasaran,” ucapnya.
Nantinya, lanjut dia, subsidi energi akan terkompensasi melalui konsumsi listrik melalui penggunaan EV. Solusi ini sangat jarang sekali menjadi diskursus oleh pemerintah terutama terkait dengan cara mengatasi persoalan ketahanan energi kita dengan secara holistik.
“Bukan hanya bicara BBM tetapi juga bicara di sektor tenaga listrik,” ujarnya.
Abra manyampaikan, tahun lalu suplai listrik juga sangat cukup bahkan surplus hingga 40% atau setara 6 gigawatt.
“Dengan menggenjot penggunaan kendaraan listrik, maka nantinya ada substitusi, dari sebelumnya konsumsi BBM ke konsumsi listrik,” katanya.
Dengan cara tersebut, lanjut dia, akan ada pengurangan importasi BBM untuk kendaraan yang sangat besar itu. Belum lagi, negara juga bisa mendapatkan keuntungan dari penggunaan listrik yang sampai saat ini masih dalam kondisi surplus.
“Solusi tersebut sangat patut dipertimbangkan karena penggunaan kendaraan listrik baik sepeda motor maupun mobil dipastikan akan mengurangi BBM. Dengan begitu konsumen akan menggunakan sumber energi domestik yaitu dari listrik,” paparnya.
Saat ini pada 2024, tambah Abra, asumsi kurs berada pada Rp 15.000 per dolar. Namun sampai hari ini sudah kurang lebih sudah di atas Rp 16.000.
“Artinya dua risiko itu sudah menjadi bagian yang berpotensi meningkatkan defisit migas kita dan ketiga risiko terjadinya over quota nah kalau misalnya harga naik,” ujar dia.
Sementara jika harga minyak mentah naik, kata Abra, pemerintah tidak mempunyai banyak pilihan selain menambah anggaran subsidi.
“Situasi ini memang sangat berbahaya sekali ketika pemerintah tidak mampu memitigasi sejak awal kira-kira berapa besar nanti potensi terjadinya migrasi BBM non-subsidi ke subsidi,” pungkasnya.(SF)