Opini: Energy Security, Dekarbonisasi, dan Energi Primer

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com- Dewan Energi Dunia menerbitkan Indeks Trilema Energi setiap tahun, yang mencakup Keamanan Energi (energy security), Keadilan Energi (energy equity), dan Keberlanjutan Lingkungan (environmental sustainability).

Artikel ini akan lebih memfokuskan pada Keamanan Energi dan Ketahanan Energi, karena Keadilan Energi pada dasarnya lebih sempit dengan penekanan pada akses energi yang adil di antara konsumen.

Keamanan Energi (Energy Security)

Keamanan Energi mengacu pada pemeliharaan pasokan energi yang stabil dan terjangkau tanpa gangguan. Ini memastikan bahwa individu, bisnis, dan industri memiliki akses yang konsisten terhadap energi yang mereka butuhkan.

Faktor kunci termasuk diversifikasi sumber energi, memiliki infrastruktur energi yang kuat, dan menjaga stabilitas geopolitik. Ketahanan energi adalah kemampuan sistem energi untuk bertahan dan pulih dari gangguan seperti bencana alam atau serangan siber. Ini berfokus pada kemampuan adaptasi sistem, respons terhadap guncangan, dan cepat kembali ke operasi normal.

Elemen kunci termasuk fleksibilitas sistem (kemampuan untuk beralih sumber energi atau beradaptasi dengan permintaan), redundansi (memiliki sistem cadangan), dan kemampuan pemulihan cepat (pemulihan layanan dengan cepat). Menyeimbangkan perlindungan lingkungan, seperti mengurangi efek rumah kaca, dengan pertumbuhan ekonomi, pelestarian keanekaragaman hayati, dan promosi energi terbarukan dikenal sebagai keberlanjutan lingkungan.

Manajemen energi harus mempertimbangkan sumber daya yang tersedia, ketergantungan pada sumber eksternal, pasokan energi, harga, dampak lingkungan, dan pengaruh global. Bagi negara berkembang, keamanan energi sering kali menjadi prioritas dibandingkan dengan ketahanan energi dan keberlanjutan lingkungan. Mencapai keseimbangan atau kompromi di antara elemen-elemen ini seharusnya merupakan upaya kolaboratif antara negara berkembang dan negara maju.

Dekarbonisasi

Pada era pra-industri (sekitar tahun 1750), konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer kira-kira 280 bagian per juta (ppm). Tingkat saat ini sekitar 420 ppm, sementara menjaga kadar CO2 di bawah 350 ppm dianggap penting untuk lingkungan yang sehat bagi makhluk hidup. Dekarbonisasi melibatkan pengurangan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya dari produksi energi, industri, transportasi, dan bangunan untuk memerangi perubahan iklim.

Ini mencakup peralihan dari bahan bakar fosil yang melepaskan CO2 ke sumber energi 2 yang lebih bersih seperti tenaga surya, angin, hidro, dan tenaga nuklir, serta meningkatkan efisiensi energi. Proses ini penting untuk mencapai target iklim global dan beralih ke ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan. Dalam memilih sumber energi primer, negara harus mempertimbangkan faktor-faktor di luar emisi CO2, termasuk keamanan energi, biaya, kelayakan ekonomi, ketersediaan sumber daya, kelayakan teknologi, dampak lingkungan selain CO2, penerimaan sosial, regulasi kebijakan, skalabilitas, fleksibilitas, dan pertimbangan geopolitik.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, pemerintah dapat membuat keputusan optimal tentang sumber energi primer, menyeimbangkan tujuan ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Energi Primer

Berikut ini adalah ringkasan berbagai sumber energi primer dengan mempertimbangkan emisi, volume per kilowatt-jam (kWh), biaya per kWh, dan ukuran pembangkit yang dibutuhkan:

Energi nuklir dan angin adalah sumber energi primer dengan emisi terendah dan biaya lebih efektif. Namun, pemilihannya memerlukan pertimbangan yang hati-hati.

Energi nuklir melibatkan biaya awal yang tinggi dan kekhawatiran tentang persepsi publik dan keselamatan, seperti yang dibuktikan oleh insiden Chernobyl dan Fukushima.Demikian juga terhadap penanganan limbahnya. Selain itu, keterbatasan sumber daya uranium yang terkonsentrasi di wilayah negara tertentu, persepsi risiko teknologi, dan kompleksitas regulasi global semakin memperumit penerapannya.

Secara global, tenaga nuklir hanya menyumbang sekitar 10% dari total produksi listrik tahunan sebesar 27.000 terawatt-jam (TWh). Demikian pula, energi angin menghadapi tantangan termasuk ketersediaan lahan, biaya awal yang tinggi, ketidakstabilan, dan integrasi serta kompatibilitas dengan jaringan yang ada. Energi angin menyumbang sekitar 8,8% dari perpaduan tenaga listrik global.

Gas alam dan batu bara tetap menjadi pilihan utama untuk Indonesia. Negara ini menghasilkan sekitar 300 terawatt-jam (TWh) listrik setiap tahun, dengan sekitar 60% berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sebagian besar menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya. Gas alam berfungsi sebagai sumber energi transisi karena emisi CO2-nya lebih rendah dibandingkan dengan batu bara dan minyak. Indonesia memiliki cadangan gas alam yang dapat dimanfaatkan, terutama di pulaupulau besar dengan infrastruktur yang relatif sudah mapan.

Selain itu, industri batu bara dan gas merupakan penyerap tenaga kerja yang signifikan, penghasil pendapatan korporasi, penyumbang keuangan daerah, dan pilar anggaran negara. Pengembangan teknologi CCS (Carbon Capture and Storage) dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) yang lebih murah akan sangat mendukung pengurangan emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil.

Di pulau-pulau terpencil atau daerah dengan transmisi listrik terbatas, pilihan sumber energi primer harus disesuaikan dengan kondisi lokal. Sumber-sumber potensial termasuk di dalamnya energi terbarukan skala kecil, sistem hibrida, microgrids, dan pengembangan infrastruktur yang meningkatkan konektivitas dan keandalan pasokan energi. Dengan fokus pada keandalan, kemandirian, dan keberlanjutan, pemilihan dan penerapan sumber energi primer di pulau-pulau terpencil atau daerah dengan transmisi listrik terbatas dapat dilakukan secara efektif sesuai kebutuhan lokal.

Penutup

Keamanan energi merupakan filosofi kebijakan yang menekankan pada kondisi stabilitas normal dalam suatu negara. Karena itu harus diprioritaskan dibanding ketahanan energi yang lebih reaktif atau masalah lingkungan yang lebih global futuristik. Mencapai keseimbangan sempurna di antara ketiga aspek tersebut adalah tidak realistis. Kebijakan adalah tentang memprioritaskan di antara berbagai alternatif dan tidak untuk menyenangkan semua kalangan. Semoga pemerintahan yang akan datang dapat memilih dan menerapkan kebijakan energi yang paling tepat, membuka jalan bagi Indonesia yang maju dalam mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.

Jakarta, Juli 2024

Dr. Sampe L. Purba, Staf Ahli Menteri ESDM (2019-2023). Artikel ini merupakan pandangan pribadi.