Jakarta, ruangenergi.com- Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiana Dewi Raih mengatakan sejumlah permasalahan di geothermal sedang dicoba diatasi oleh pihaknya.
Eniya mengaku dirinya tandatangan banyak penghentian eksplorasi geothermal, dan hal ini membuat dirinya sedih. Itu sebabnya, dia berupaya menyelesaikan sejumlah issue yang menjadi penghambat geothermal berkembang di Indonesia.
“Saya tandatangan banyak penghentian eksplorasi geothermal. Kenapa? Itu masalahnya sosial. Ini sudah menjadi awareness saya, ini jadi fokus saya juga untuk bisa menyelesaikan permasalahan geothermal,” kata Eniya di sela-sela Penandatangan Kerja Sama (PKS) Ditjen EBTKE dengan IBEKA, Kamis (18/07/2024), di Jakarta.
Eniya bercerita, dirinya sudah meng-address kepada Bu Puni (Tri Mumpuni dari IBEKA), ‘bu tolong tambahin issue geothermal dan juga konservasi di dalam perjanjian kerja sama dengan IBEKA.
“Kita sudah tahu sebetulnya issue-issue geothermal. Ini sebetulnya kesalah-pahaman dan kurangnya sosialisasi. Geothermal ada yang sudah sukses, di Ulubelu Lampung. Nah di Lampung itu saya punya pengalaman menghandle 2 ribu hektar (ketika di BRIN), menghadapi banyak preman. Saya komunikasi dengan orang yang pernah menghandle Ulu Belu. Kan Ulubelu itu Pertamina, saya cari yang menghandlenya. Dia bilang harus sering ditunggui dan komunikasi dengan masyarakat setempat.Setelah masyarakat tahu dibangunkan jalan, akses geothermal sebelum melakukan eksplorasi bangun jalan, bangun jembatan,nah dia (Pertamina) melibatkan orang sekitar untuk bangun jembatan, bangun jalan seperti itu. Sesudah orangnya teredukasi, oh sudah bagus alamnya, sudah bagus jalannya, setelah itu mereka baru mengerti.Tetapi memang prosesnya lama. Sehingga yang kemarin itu (demo Warga Poco Leok, Flores Nusa Tenggara Timur itu tegas menolak pembangunan PLTP di desanya)..oh ini selama ini prosesnya lama, pembebasan tanah terus mungkin tadi waktu eksplorasinya kurang melibatkan tenaga yang ahlinya ahli sehingga kalau tidak libatkan tenaga ahli itu identifikasinya suka enggak tepat,” ungkap Eniya.
Dia menambahkan, perlu identifikasi permasalahan.Perlu analisis, perlu kemampuan teknikal yang tinggi dimana kadang tidak memanfaatkan yang expert ya itu karena mahal ya biayanya. Tetapi mungkin kesalahan-kesalahan itu bisa diminimalisir sehingga komunikasi ke warga jadi lebih mudah, lebih cepat.
“Ini satu hal PR (pekerjaan rumah) buat teman-teman Patriot Energi untuk bisa ikutan di situ mensosialisasikan tentang geothermal. Memang edukasi membutuhkan waktu yang panjang juga sih,”tutur Eniya.
Eniya memaparkan, saat transisi energi peranan hydro dan geothermal diperlukan sebagai base load.
“Sekarang, pada saat ada issue gimana kita menurunkan coal, misalnya ada penghentian PLTU yang diminta internasional, tapi replacement nya apa? Gak bisa langsung diganti sama photovoltaic. Nah 660 MW mau dimatikan, photovoltaic harusnya masuk 4 kali loh. Jadi 660×4 karena dia (photovoltaic) cuma siang hari 4 jam dapat cahaya matahari yang bagus. Terus kita mengusulkan oh kombinasi dengan gas dong. Nah ini baru dihitung kombinasi dengan gasnya masuk. Dan satu lagi, kita mengakselerasi base load. Jadi masa transisi ini base loadnya akan dimasukan lebih banyak. Itu base load contohnya gini; hydro power sama geothermal sumber pengganti agar base load itu stabil.Jadi listriknya tidak naik-turun, naik-turun begitu.Stabil. Ini fokus kita ke geothermal lebih dari sebelumnya dan juga ke hydro kita lebih ingin masukkan. Yang skala besar. Nah kegiatan Patriot Energi ini juga menghasilkan data-data mana yang perlu hydro. Wilayah mana yang perlu photovoltaic. Nah data-data yang perlu kita collect kecil-kecil. Tetapi big picture-nya kita mendorong geothermal dan hydro tadi.,” tutur Eniya.