Merumuskan Langkah Akselerasi Pencapaian Target Ketahanan Energi Subsektor Migas (suatu Opini)

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com- Sejak tahun 2017, World Energy Council memperkenalkan suatu terminologi yang menjadi pola yang dipedomani oleh dunia energi, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan “The Energy Trilemma”.

Terminologi ini menggambarkan adanya suatu kondisi interaksi 3 kutub yang saling mempengaruhi dan membutuhkan suatu upaya yang memadai dari suatu negara untuk menuju kesetimbangan terbaik dari tiga kutub tersebut.

Kutub pertama adalah “energy security”, yang menunjukkan kemampuan suatu negara atas ketahanan suplai, atau ketersediaan sumber-sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi jangka menengah dan jangka panjang. Selanjutnya adalah “energy equity, yaitu kutub yang menggambarkan kemampuan suatu negara atas akses energi yang dimiliki telah mampu dicapai oleh seluruh lapisan masyarakatnya dengan harga yang terjangkau. Kutub ini secara singkat dapat diartikan dengan sumber energi yang terjangkau dan harga yang terjangkau.

Sedangkan kutub ketiga adalah “environmental sustainability” yaitu menggambarkan bahwa negara tersebut telah melakukan langkah-langkah yang memadai untuk melakukan proses pencegahan atas kerusakan lingkungan dari dampak konsumsi dan belanja energi yang dilakukannya. Kutub ketiga inilah yang kemudian menelurkan kebijakan global “Net Zero Emission (NZE)”.

Di tataran nasional, indeks ketahanan energi nasional yang dikembangkan oleh Dewan Energi Nasional dikenal dengan terminologi 4A: Availability (Ketersediaan), Accessibility (Aksesibilitas), Affordability (Keterjangkauan), dan Acceptability (Akseptabilitas). Jika 4A ini disandingkan dengan “Energy Trilemma” sesungguhnya sangat identik, yaitu Energy Security dengan Availability, Energy Equity dengan Accesibility dan Affordability, dan Environmental Sustainability dengan Acceptability. Lalu sejalan pula dengan kebijakan nasional kita, dalam kebijakan energi nasional dilaksanakan dengan ruh dari Pasal 33 UUD 1945. Ruh dari UUD 1945 pasal 33, di ”merge” dengan “The Energy Trilemma” dan “4A” sepantasnya menjadi acuan dalam setiap pengambilan kebijakan dan program yang dilaksanakan di sektor ESDM, khususnya Subsektor Migas.

Gambaran Isu-Isu Penting Subsektor Migas

Migas merupakan subsektor yang mengelola sumber daya alam migas, baik dari sisi hulu migas, maupun penataan pengusahaan di sisi hilir. Subsektor Migas masih menjadi salah satu andalan dalam kontribusi PNBP terhadap penerimaan negara yaitu sebesar Rp. 149 Triliun pada tahun 2022 dan terkoreksi menjadi Rp. 117 Triliun pada tahun 2023. Peran migas juga menjadi semakin penting dalam menuju target nasional NZE 2060 khususnya melalui pemanfaatan gas bumi untuk pembangkit tenaga listrik sebagai bridging sebelum penetrasi masif dari energi terbarukan.

Keberadaan pembangkit-pembangkit batubara dan BBM akan digantikan oleh pembangkit-pembangkit berbasis gas bumi. Selain pemanfaatan gas bumi untuk pertumbuhan industri nasional, gas bumi sebagai jargas rumah tangga dan pelanggan kecil menjadi prioritas untuk menggantikan dominasi LPG di sektor rumah tangga, sekaligus untuk mengendalikan besarnya subsidi LPG yang disebabkan oleh impor LPG yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Kondisi saat ini Indonesia masih memiliki cadangan migas terbukti (proven reserves) yang signifikan, yaitu minyak bumi sebanyak 2,41 Milyar Barrel (11 tahun) dan gas bumi sebanyak 35,3 TCF (15 tahun). Saat ini beberapa lapangan dalam kategori lapangan-lapangan besar juga telah menjadi temuan signifikan, seperti Blok Andaman dan South Andaman, Blok Agung, North Ganal dan Blok Masela.

Berdasarkan peta potensi dan perannya, isu-isu utama subsektor migas antara lain adalah (1) Peningkatan lifting migas; (2) Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), (4) Pengelolaan atas konsumsi LPG, (5) Implementasi Subsidi Tepat Sasaran, (6) Dukungan terhadap program penurunan emisi (BBM rendah sulfur, Biodiesel dan Bioethanol, dan CCS/CCUS), dan (7) Pembangunan Infrastruktur sebagai bagian penting dari aksesiblitas energi dan peningkatan pemanfaatan sumber-sumber migas untuk kebutuhan dalam negeri/masyarakat.

Time Management

Penyelesaian dalam bentuk suatu akselerasi, akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terlebih dahulu dalam tahapan perencanaannya telah disusun suatu matriks yang berbasis “time management” yang didalamnya terdapat rumusan yang lebih detail kegiatan-kegiatan apa saja yang menjadi obyek dalam kategori kuadran “important-urgent”, agar segera dikerjakan/diselesaikan dan kegiatan mana yang berada dalam kuadrant “Important-not urgent” agar segera dibuatkan timeline yang memadai dan terukur. Pendekatan atas 2 gradien waktu dari “time management” dapat pula diidentikkan menjadi “jangka pendek” untuk yang sifatnya “important urgent” dan “jangka menengah” untuk yang sifatnya “important-not urgent”. Batasan terbaik untuk yang gradien jangka pendek sebaiknya adalah 1 – 3 bulan, 6 – 9 bulan dan maksimal 12 bulan. Sedangkan untuk jangka menengah adalah 1 – 5 tahun. Rentang waktu yang tersedia hendaknya diisi dan dirinci lagi hal-hal apa yang diselesaikan di awal-awal kegiatan dan akhir dari program yang telah disiapkan dalam suatu perencanan yang sistematis.

Sebagai contoh untuk peningkatan lifting/produksi migas, terdapat beberapa program yang terkandung didalamnya, antara lain (a) penerapan new gross split, (b) reaktivasi lapangan-lapangan idle, (c) Lelang Blok Migas, (d) Insentif Hulu Migas, (e) dan lain-lain. Dari kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilakukan 2 tahapan penyusunan, pertama kelompokkan mana kegiatan yang masuk dalam dominasi penyelesaian jangka pendek dan mana yang masuk dalam kategori yang didominasi oleh penyelesaian jangka menengah. Untuk yang harus diselesaikan segera (jangka pendek) cukup dibuatkan dalam bentuk pointers yang terus diperbaharui dan selesai dalam 1 bulan sd 12 bulan sesuai yang ditetapkan oleh Pimpinan/Pengambil Kebijakan.

Misalnya untuk Lelang Blok Migas, ini kategorinya jangka pendek, artinya sudah harus ada blok yang dilelangkan dalam kurun waktu 1-3 bulan ke depan dan seterusnya. Untuk yang diperlukan tahapan jangka menengah, maka hal ini harus disiapkan dalam bentuk timeline.

Melalui mekanisme akselerasi dengan penerapan prinsip-prinsip dalam “time management” ini diharapkan akan memberikan output yang memadai baik dari sisi pengambil kebijakan maupun dari sisi penerima manfaat.

Oleh:  Laode Sulaeman seorang ASN dan Godang Sitompul wartawan senior sektor ESDM