Catatan Penting dalam Transisi Energi Pertamina

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com –Walau telah memulai berbagai inisiatif transisi energi, sebagian besar pendapatan PT Pertamina (Persero) masih bergantung pada sektor minyak dan gas bumi. Perubahan model bisnis ini membutuhkan waktu dan investasi besar.

PT Pertamina (Persero), sebagai perusahaan energi terbesar di Indonesia, serius menyiapkan perjalanan panjang dalam program transisi energi guna mendukung komitmen global terhadap pengurangan emisi karbon dan pencapaian net zero emission pada 2060.

Perjalanan ini bukan tanpa tantangan, mengingat peran vital Pertamina dalam penyediaan energi berbasis fosil yang masih dominan di Indonesia.

Dirut Pertamina Nicke Widyawati, dalam ajang bergengsi di saat sesi panel CEO Forum di The 48th Indonesian Petroleum Association Convention & Exhibition alias IPA CONVEX 2024 pada 14-16 Mei 2024, memaparkan strategi ketahanan, transisi energi dan kelestarian lingkungan.

Diajang itu, Nicke menekankan bahwa energi merupakan katalis pertumbuhan ekonomi yang vital. Oleh karena itu, Indonesia, terutama Pertamina, harus fokus pada dua hal utama: mengamankan energi dan mengurangi emisi karbon guna mendukung target pemerintah mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060.

“Kami memperkuat bisnis legacy dengan memaksimalkan dan membangun infrastruktur terintegrasi dari hulu, midstream, dan hilir untuk memperkuat aksesibilitas. Tantangan terbesar di Indonesia adalah aksesibilitas, diikuti oleh keterjangkauan. Masalah ini harus diatasi dengan benar dalam perencanaan strategis kami,” ujar Nicke waktu itu (16/05/2024).

Nicke bercerita, Pertamina, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengadopsi pendekatan transisi energi secara bertahap.

Pertamina ditugaskan fokus menjaga ketahanan energi melalui penguatan bisnis minyak dan gas. Namun, di sisi lain, Pertamina ditugaskan untuk meningkatkan pengembangan bisnis rendah karbon untuk mencapai target NZE pada tahun 2060.

Nicke menyebutkan beberapa program kunci yang mendukung inisiatif rendah karbon, termasuk bioenergi, biodiesel, biogasoil, bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel atau SAF), serta solusi berbasis alami dan teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS).

Beberapa aspek penting dari transisi energi yang dijalani Pertamina antara lain diversifikasi portofolio energi.

Pertamina berfokus pada diversifikasi sumber energi, terutama energi terbarukan. Salah satu bentuk diversifikasi tersebut adalah pengembangan biofuel.

Bagi Pertamina, pengembangan biofuel, seperti biodiesel dan bioetanol, bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Pertamina juga berupaya menjalin berbagai kerja sama internasional untuk mempercepat adopsi teknologi bersih dan energi terbarukan. Salah satu contoh adalah kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan Brasil dalam pengembangan bioetanol, serta kemitraan dengan berbagai institusi global untuk pengembangan teknologi hijau.

“Ada peluang bisnis baru yang bermunculan. Pertama, bisnis biofuel yang peranannya akan sangat besar, terutama yang berbasis bio. Kedua, renewable power, kita memiliki sumber panas bumi terbesar di dunia. Selain itu, banyak potensi lain yang bisa dikembangkan,” kata Vice President Business Development PT Pertamina, Wisnu Medan Santoso, dalam diskusi “Energizing Tomorrow: Menjawab Tantangan Transformasi Energi Menuju Net Zero Emission”, Selasa lalu (10/09/2024) di Jakarta.

Transisi dari BBM ke Gas Alam

Transisi dari bahan bakar minyak (BBM) ke gas alam sebagai sumber energi yang lebih bersih merupakan salah satu strategi utama Pertamina. Gas alam dipandang sebagai “jembatan” dalam transisi menuju energi terbarukan karena emisi karbonnya lebih rendah dibandingkan dengan batu bara dan minyak bumi.

Di hadapan peserta Indonesia International Sustainability Forum 2024 (IISF) pada Kamis, 5 September 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, menyebutkan bahwa Pertamina terus mengembangkan infrastruktur gas sebagai sumber energi andalan dalam mendukung transisi energi.

“Pertamina telah mengembangkan biofuel, penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS), hingga solusi berbasis NBS (Nature-Based Solutions) yang terbukti dapat menurunkan emisi,” ujar Nicke dengan semangat.

Tidak mau ketinggalan dalam inovasi energi, Pertamina juga tengah mengkaji penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar masa depan.

Buktinya, PT Pertamina Geothermal Energi Tbk (PGEO) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Pertamina Power Indonesia (Pertamina NRE) dan Genevia, perusahaan asal Prancis yang berfokus pada teknologi hidrogen bersih.

Kesepakatan ini mengatur kerja sama ketiganya untuk melakukan studi bersama terkait pengembangan hidrogen hijau atau rendah karbon. Teknologi Solid Oxide Electrolyzer (SOEL) milik Genvia akan dipadukan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Combined Heat and Power (CHP) milik PGEO untuk mewujudkan inovasi energi bersih.

“Skema teknologi ini diharapkan menjadi model keekonomian bisnis hidrogen hijau berbasis listrik panas bumi yang kompetitif di pasar,” jelas Kitty Andhora, Corporate Secretary PGEO, Rabu (2/10/2024) di Jakarta.

Inovasi Teknologi dan Digitalisasi

Tidak ingin dicap ketinggalan zaman, Pertamina serius mengembangkan digitalisasi dan inovasi teknologi dalam kegiatan operasional, mulai dari upstream, midstream, hingga downstream, termasuk energi terbarukan.

Digitalisasi dan inovasi teknologi menjadi kunci dalam meningkatkan efisiensi operasional serta adopsi teknologi energi bersih. Pertamina melakukan investasi besar dalam pengembangan solusi digital untuk meningkatkan pengelolaan energi dan meminimalkan dampak lingkungan dari operasinya.

Dalam catatan ruangenergi.com, di hadapan Pemimpin Redaksi Media Massa dalam acara Pemred Gathering Pertamina 2024, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, mengungkapkan bahwa digitalisasi dan riset teknologi menjadi kunci utama meningkatnya kinerja Pertamina.

“Kita sudah mulai menggunakan AI (Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan) untuk mengolah dan menganalisis data secara lebih cepat, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih akurat,” cetus Nicke waktu itu.

Pertamina juga terus mengembangkan riset dan teknologi untuk meningkatkan produk bernilai tinggi. Pertamina menguasai 24% sektor hulu dengan kontribusi terhadap produksi minyak sebesar 69% dan gas sebesar 34%. Pengelolaan ribuan sumur dilakukan dengan digitalisasi dan sudah terkoneksi hingga ke hilir.

Selain aspek teknis, Pertamina juga menekankan pada Environmental, Social, and Governance (ESG). Komitmen perusahaan yang dipimpin oleh Nicke Widyawati untuk mengurangi jejak karbon dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program tanggung jawab sosial korporat (CSR) menunjukkan langkah serius menuju keberlanjutan.

Pertamina masih berada dalam tahap awal transisi energi, namun dengan langkah-langkah proaktif dan inovatif, perusahaan tampaknya berkomitmen penuh untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang dan mendukung Indonesia dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Transisi Energi Terjangkau dan Daya Beli Masyarakat

Cerita lainnya soal transisi energi. Ternyata, Pertamina memiliki mandat untuk memastikan energi tetap terjangkau bagi masyarakat. Selain itu, mereka juga berupaya meningkatkan daya beli melalui peningkatan pertumbuhan industri di Indonesia.

Hal ini terungkap saat Nicke dalam sidang paripurna ASEAN Indo-Pasific Forum (AIPF) hari ke-2 bertajuk Green Infrastructure and Resilient Supply, Jakarta, Rabu, 6 September 2023.

“Kami berkomitmen memastikan energi terjangkau bagi masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi melalui industri yang kuat,” urai Nicke.

Nicke juga menegaskan komitmen Pertamina terhadap program environmental, social, and governance (ESG). Pada tahun 2023, Pertamina berhasil mengurangi emisi karbon hingga 34 persen melalui proses internal perusahaan.

“Ini adalah bukti nyata komitmen kami dalam menjaga keberlanjutan dan tanggung jawab sebagai perusahaan energi,” tutur Nicke.

Nicke menekankan pentingnya digitalisasi, keberlanjutan, kesiapan sumber daya manusia, dan kemajuan teknologi sebagai kunci sukses strategi Pertamina.

“Kami percaya bahwa digitalisasi, keberlanjutan, dan kesiapan sumber daya manusia serta kemajuan teknologi adalah elemen kunci dalam mengelola keseimbangan antara ketahanan energi dan kelestarian lingkungan dengan baik,” jelasnya.

Nicke mengatakan, transisi energi secara bertahap itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Karenanya, salah satu yang telah disepakati dan harus segera diimplementasikan adalah melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP). Program penggalangan dana itu bakal berperan besar dalam perjalanan transisi energi, utamanya di negara-negara ASEAN.

Dengan dukungan pendanaan yang mencukupi, kebutuhan untuk mengganti secara bertahap jenis-jenis energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan dapat dieksekusi. Hal itu secara tak langsung juga dianggap akan mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional.

Indonesia, lanjut Nicke, telah dianugerahi kekayaan alam melimpah yang dapat dimanfaatkan pula untuk menciptakan energi yang lebih ramah lingkungan ketimbang fosil. Beragam sumber untuk menghasilkan bioenergi tersedia dan melimpah di Indonesia. Salah satunya ialah kelapa sawit.

Komoditas itu telah menjadi bahan dasar dari B35 yang dijalankan pemerintah. Melalui pemanfaatan B35 pula Indonesia berhasil mengurangi impor bahan bakar minyak, sekaligus mengurangi emisi karbon hingga 28 juta CO2.

“Selain itu kami juga mendorong biofuel. Bensin akan dicampur dengan etanol yang berasal dari tebu, singkong, hingga sorgum. Biofuel generasi kedua bahkan berasal dari limbah. Di generasi ketiga adalah bahan bakar penerbangan berkelanjutan melalui biofuel ini,” jelas Nicke.

Nicke meyakini pemanfaatan bioenergi sebagai pengalih energi fosil ke energi bersih merupakan cara paling efektif.

Pertamina kemudian mengembangkan teknologi dan mengalokasikan dana untuk membuat energi ini jadi terjangkau, baik harga dan aksesibilitas. Jadi Pertamina tak cuma menyediakan energi, tetapi membangun infrastrukturnya juga kemudian bisa terakses dan terjangkau bagi semua orang.

“Terakhir ini soal lingkungan, makanya dengan kita mengerjakan yang dua tadi, energy security tetap ada dan affordability kuat, tetapi kita juga mengimplementasikan teknologi dekarbonisasi,” lanjutnya.

Kebijakan nasional sendiri pada tahun 2060 adalah mencapai net zero emission. Dimana untuk mencapai target tersebut Pertamina pun sudah menyiapkan berbagai strategi di masing-masing subholding yang menjadi pilar bisnisnya.

“Salah satunya kita jalankan dengan melakukan CCUS (carbon capture, utilization and storage) di masing-masing subholding upstream, refinery, shipping, commerce and trading serta renewable energy ini punya target yang jelas dalam melakukan transisi dan mencapai net zero emission 2060,” kata Nicke lagi.

Transisi Energi di Subholding Pertamina

Transisi ini juga berlaku pada subholding upstream Pertamina yang bertugas untuk pengeboran dan eksplorasi ladang minyak. Dimana bisnis selanjutnya juga menjalankan peran CCUS.

“Jadi kalau kita sebelumnya melakukan lifting maka storage ini sebagai inject CO2, dan kita sudah mulai. Secara teknologi kita sudah melakukan dan berhasil, kita tinggal perbesar skalanya, dan untuk itu diperlakukan regulasi, dan regulasinya juga cross border karena dengan kapasitas yang sangat besar dari CO2 storage ini jadi peluang sangat besar bagi Indonesia menjadi regional Hub bagi CCUS,” Nicke menjelaskan.

Keseimbangan inilah yang tetap harus dijaga Pertamina. Dimana mereka memiliki tugas untuk memberikan masyarakat energi bersih dan affordable. Artinya harus selalu ada, harganya terjangkau, terakses dan secara lingkungan lebih ramah, sehingga harus terus melakukan transformasi dan inovasi demi menjaga bisnis yang berkelanjutan.

Nicke lantas mencontohkan terkait tugas pemerintah kepada Pertamina untuk meningkatkan produksi migas, di saat orang bicara soal energi transisi, tapi produksi migas harus naik. Sebab Indonesia masih impor sepertiganya.

“Yang kita lakukan adalah mengurangi emisinya dengan program dekarbonisasi. Jadi ada energi efisiensi dan banyak program lain yang membuat Pertamina sampai dengan tahun lalu bisa menurunkan 34% karbon emisi dari operation. Dan ditambah lagi dgn CCS dan CCUS. jadi kita tujuannya net zero di upstream, dan tujuan kita menambah porsi gas lebih banyak, karena gas kan emisinya lebih rendah, hanya 40% dari minyak,” paparnya.

Contoh lainnya adalah di sektor refinery yang mengkonversi bio refinery yang menghasilkan B100, termasuk sustainable aviation fuel (SAF). “Indonesia punya potensi jadi regional supply untuk SAF. Demikian juga gas. semua subholding Pertamina punya target dan program menuju net zero emission,” ungkap Nicke lagi.

“Energi transisi Pertamina bisa mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menguatkan peningkatan kemampuan Indonesia dalam menghadapi energi trilema,” ujar Nicke, jelasnya saat menjadi salah satu Speaker pada diskusi panel Advancing Energy Transition in Emerging Economies di ajang IISF.

Selain mendukung pertumbuhan ekonomi, lanjut Nicke, transisi energi Pertamina bisa mendorong Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita serta memperkuat capital index. Nicke menambahkan, Pertamina telah mengalokasikan sekitar 15 persen dari total Capex untuk mendukung transisi energi dan pengembangan portofolio bisnis rendah karbon. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata perusahaan energi dunia.

“Pertamina terus komitmen mendukung target pemerintah Indonesia dalam NZE pada tahun 2060, atau lebih cepat,” tandas Nicke.

Pertamina, imbuh Nicke, tetap menjaga ketahanan energi nasional sebagai prioritas utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertamina menerapkan strategi pertumbuhan ganda (dual growth strategy), yakni mempertahankan dan meningkatkan bisnis eksisting untuk menjamin ketahanan energi nasional dan pada saat yang sama mengembangkan bisnis rendah karbon.

Pertamina terus mengembangkan infrastruktur gas sebagai sumber energi andalan dalam mendukung transisi energi. Pertamina juga terus mengembangkan panas bumi yang bisa menjadi opsi terbaik energi ramah lingkungan di Indonesia.

“Pertamina telah mengembangkan biofuel penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS), hingga solusi berbasis NBS (Nature-Based Solutions) yang yang terbukti bisa menurunkan emisi,” imbuh Nicke.

Pertamina sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDGs). Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.

Strategi Besar

Jalan panjang menuju transisi energi di tubuh Pertamina bisa tergambar jelas dari hasil riset yang dilakukan ruangenergi.com sebagai berikut:

Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara memandang transisi energi adalah bagian dari strategi besar untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Pertamina, sebagai perusahaan energi terbesar di Indonesia, memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi Indonesia menuju energi terbarukan dan pengurangan emisi karbon.

Pertamina semakin mengalihkan fokusnya ke pengembangan energi terbarukan sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi energi.

Beberapa inisiatif yang dilakukan Pertamina dalam pengembangan energi terbarukan di antaranya adalah melalui pengembangan energi geothermal. Pertamina melalui anak perusahaannya, Pertamina Geothermal Energy (PGE), berkomitmen untuk terus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik dari sumber energi ini.

Di sisi lain, sejalan dengan pengembangan energi terbarukan,Pertamina telah meluncurkan beberapa proyek tenaga surya, termasuk memasang panel surya di beberapa stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) dan fasilitas operasional mereka. Inisiatif ini bertujuan untuk memanfaatkan energi matahari sebagai sumber daya yang lebih bersih.

Selain itu, Pertamina juga menjajaki potensi energi hidro dan biomassa sebagai bagian dari portofolio energi terbarukannya.

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan biofuel. Pertamina mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati (biofuel), khususnya melalui program Biodiesel (B20, B30, hingga B40), yang merupakan campuran antara bahan bakar fosil dengan minyak kelapa sawit.

Pertamina memproduksi biodiesel dengan mencampur minyak sawit mentah (CPO) dengan bahan bakar diesel fosil, sesuai dengan kebijakan biodiesel pemerintah. Program ini membantu menurunkan impor minyak mentah sekaligus mengurangi emisi karbon.

Selain biodiesel, Pertamina juga mengembangkan green diesel dan green gasoline, yaitu bahan bakar yang berasal dari olahan minyak nabati yang lebih ramah lingkungan. Proyek ini merupakan salah satu komitmen Pertamina untuk menyediakan bahan bakar dengan jejak karbon lebih rendah.

Pertamina juga tercatat sebagai badan usaha yang turut berpartisipasi dalam pengembangan hidrogen di Indonesia.

Hidrogen menjadi salah satu komponen penting dalam strategi transisi energi global karena hidrogen dianggap sebagai bahan bakar masa depan yang rendah karbon. Pertamina sedang melakukan studi dan penelitian untuk mengembangkan potensi penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar, terutama dalam sektor industri dan transportasi.

Pertamina menjajaki potensi hidrogen biru yang diproduksi dari gas alam dengan teknologi carbon capture (penangkapan karbon), serta  hidrogen hijau  yang dihasilkan melalui elektrolisis menggunakan energi terbarukan, seperti tenaga surya atau angin.

Sebagai bagian dari transisi energi, Pertamina juga fokus pada pengurangan emisi melalui berbagai teknologi ramah lingkungan. Salah satunya adalah melalui Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).

Pertamina berinvestasi dalam teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCUS) yang dapat mengurangi emisi CO₂ dari fasilitas-fasilitas industri, khususnya di sektor migas. Salah satu proyek penting di bidang ini adalah inisiatif CCUS di Lapangan Gundih dan Sukowati. Belakangan Pertamina sudah tandatangani perjanjian kerja sama dengan ExxonMobil untuk kembangkan CCS di Cekungan Sunda Asri di akhir tahun 2024 ini.Cekungan tersebut merupakan kandidat tempat penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS).

Dalam transisi energi, Pertamina melihat gas alam dianggap sebagai sumber energi transisi yang lebih bersih dibandingkan batu bara atau minyak mentah. Pertamina terus meningkatkan kapasitas produksi gas alam dan infrastrukturnya untuk memenuhi permintaan domestik dan global. Proyek seperti pengembangan terminal LNGdan perluasan jaringan pipa gas merupakan bagian dari strategi ini.

Pertamina juga mulai terlibat dalam ekosistem kendaraan listrik sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi di sektor transportasi. Pertamina telah memulai pembangunan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) di beberapa lokasi SPBU sebagai langkah untuk mendukung adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Ini termasuk menyediakan infrastruktur untuk mengisi daya kendaraan listrik di seluruh jaringan SPBU mereka.

Pertamina bekerja sama dengan beberapa perusahaan teknologi dalam pengembangan stasiun penukaran baterai untuk sepeda motor listrik, yang diharapkan dapat mempercepat adopsi kendaraan listrik di sektor transportasi roda dua.

Langkah Pertamina untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan, dilakukan dengan berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi energi baru dan terbarukan.

Beberapa fokus penelitian mencakup:

– Pengembangan teknologi untuk meningkatkan efisiensi energi.

– Peningkatan kualitas produk biofuel.

– Pengembangan teknologi hidrogen dan pemanfaatannya.

– Teknologi pengolahan dan pemurnian gas alam dengan jejak karbon lebih rendah.

Kemitraan Strategis

Langkah untuk mempercepat proses transisi energi, Pertamina terlibat dalam berbagai kemitraan dan kerja sama internasional dengan perusahaan energi global, lembaga penelitian, dan organisasi multilateral.Beberapa proyek hidrogen dan biofuel melibatkan kerja sama dengan perusahaan energi dari Jepang dan Korea Selatan yang sudah lebih maju dalam teknologi transisi energi.

Khusus dalam pengembangan bioetanol, Pertamina telah menjajaki kerja sama dengan Brasil yang dikenal sebagai salah satu produsen bioetanol terbesar di dunia.

Catatan Penting dalam Transisi Energi Pertamina

Walau telah memulai berbagai inisiatif transisi energi, sebagian besar pendapatan Pertamina masih bergantung pada sektor minyak dan gas bumi. Perubahan model bisnis ini membutuhkan waktu dan investasi besar.

Di sisi lain, pembangunan infrastruktur untuk energi terbarukan dan kendaraan listrik masih terbatas di Indonesia. Pertamina harus bekerja sama dengan pemerintah dan sektor swasta untuk mempercepat pengembangan infrastruktur ini.

Keberhasilan transisi energi sangat bergantung pada kebijakan pemerintah, seperti insentif untuk energi terbarukan dan pengurangan subsidi bahan bakar fosil.

Melalui langkah-langkah tersebut, Pertamina sedang menuju ke arah yang lebih berkelanjutan, meskipun jalan menuju transisi energi penuh masih memerlukan upaya yang signifikan dari sisi teknologi, regulasi, dan pendanaan.