Jakarta, Ruangenergi.com – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengungkapkan sebab pembentukan Subholding dan Holding di dalam organisasinya.
Seperti halnya pembentukan Subholding Pertamina, hal itu dilakukan guna menunjang bisnisnya.
Dalam webinar yang bertajuk “Subholding Pertamina, Melanggar Hukum?“, yang diselenggarakan oleh Watch Energy, publik ingin mengetahui asal usul pembentukan Subholding di tubuh Pertamina.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, selaku pembawa cara menanyakan kepada Arya Sinulingga selaku Staf Khusus Menteri BUMN.
“Sebenarnya apa yang menjadi latarbelakang pembentukkan Subholding atau restrukturisasai didalam tubuh PT Pertamina, dan harapan dengan dibentukkan restrukturisasi tersebut?,” tanya Mamit, (22/10).
Mamit menambahkan, karena ada yang mengatakan bahwa pembentukkan subholding Pertamina tersebut melanggar daripada peraturan Undang-Undang Kementerian BUMN.
“Dan yang paling menarik ada yang menyatakan bahwa Kementerian BUMN ini menghilangkan posisi Deputi didalam strukturisasi Kementerian BUMN, di mana posisi deputinya sebenarnya lebih paham terhadap teknis dan digantikan dengan posisi Wamen (Wakil Menteri) BUMN?,” tanya Mamit lagi.
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan, dalam webinar ini dirinya ingin menjelaskan lebih detail mengei pembentukan Subholding Pertamina.
Menurutnya, Pertamina bukan satu-satunya BUMN yang dilakukan restrukturisasi organisasi, melainkan BUMN lainnya juga akan dilakukan restrukturisasi.
“Saya mau bahas juga, bagaimana di BUMN merestrukrisasi terhadap seluruhnya. Pertamina bukanlah satu dari perubahan restrukturisasi yang dilakukan oleh Kementerian BUMN, melainkan banyak hal yang dilakukan restrukturisasi sesuai dengan terget kita untuk melakukan efisiensi dan juga lebih lincah,” jelas Arya.
Arya menambahkan, ada tiga prioritas Kementerian BUMN dalam melakukan restrukturisasi, yakni :
1. Struktur Organisasi Ramping.
2. Mandat, yakni kemampuan untuk melikuidasi, merger (penggabungan) dan sebagainya.
3. Pembentukkan Strategi Delivery Unit, ini merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh Kementerian BUMN dalam mengimplementeasikan strategi-stretegi BUMN.
“Ini adalah tiga langkah yang kami lakukan, di mana semua untuk optimalisasi jabatan yang service oriented, kemudian juga membuat klaster-klaster yang berkaitan dengan supply chain, dan fungsi deputi yang berubah dari sebelumnya,” katanya.
Ia menjelaskan, untuk struktur deputi yang pertama dilakukan perubahan besar, karena dulu itu bisnis dipegang oleh deputi-deputi dan sekarang dipegang oleh Wamen (Wakil Menteri).
Dikatakan olehnya, penambahan Wamen didalam organisasi Kementerian BUMN ada dua, dan mereka yang memegang pengembangan bisnisnya langsung. Jadi pegembangan bisnis bukan lagi dipegang oleh deputi, kata Arya, melainkan tugas deputi saat ini adalah yang berhubungan dengan bidang hukum, bidang SDM, bidang keuangan dan manajemen risiko.
“Bisa dikatakan restrukturisasi pertama kali dilakukan oleh Kementerian BUMN sendiri, dengan mengubah struktur organisasi kita (menghilangkan beberapa deputi),” imbuh Arya.
Arya mengakui, perubahan ini membuat struktur organisasi di Kemeterian BUMN menjadi lebih ramping dan asset deputi langsung dibawah kendali Wamen BUMN yang memegang portofolio.
“Jadi portofolio dipegang langsung oleh para wamen. Kita mulai membangun klasterisasi dan fungsi untuk mengembangkan bisnisnya. Klasterisasi bisa dikatakan suatu lingkup bisnis yang dijalankan oleh para BUMN,” papar Arya.
Seperti klaster supply chain, dimana Kementerian BUMan ingin bisnis dari para BUMN itu bisa End-to-End, misalnya klaster industri kesehatan. Mulai dari industri pembuat obat-obatan, distribusi, sampai pakaian akan dikumpulkan, bisnisnya itu end-to-end, dari hulu sampai ke hilir.
Dikatakan oleh Arya, karena memang selama ini antar BUMN sendiri (bukan satu klaster) mereka tidak terhubung dan tidak bisa saling memanfaatkan bisnisnya untuk mengambil produk-produk BUMN di hulunya.
“Kita membagi dua sesuai portofolionya. Portofolio Wakil Menteri 1 dan Portofolio Wakil Menteri 2,” jelasnya.
Untuk klaster Minyak dan Gas Bumi (Migas), Mineral dan Batubara (Minerba), Perkebunan, Pangan, Kesehatan, Manufaktur masuk dalam Portofolio Wakil Menteri 1.
Sementara, untuk klaster Jasa Keuangan, Jasa Asuransi, Telekomunikasi dan Media, Infrastruktur, Logistik dan Pariwisata pendukung masuk kedalam portofolio Wakil Menteri 2.
“Seperti klaster pariwisata dan pendukung, akhirnya dibuat end to end, mulai dari penerbangan (Garuda), lalu landing diterima oleh Angkasa Pura, masuk ke bisnis perhotelan, kemudian pengelolaan tempat wisata seperti TWC dan ITDC, dan diakhir menjual merchandise dilakukan oleh Sarinah. Klaster-klaster ini juga bisa menjadi subholding atau bisa juga tidak di holdingkan,” katanya lagi.
Seperti pariwisata dan pendukung, disamping mereka klaster, mereka juga subholding, makanya nanti akan ada subholding pariwisata dan pendukungnya, termasuk industri penerbangan atau aviasi yang akan masuk didalam Subholding tersebut. Tentunya semua itu tergantung dari situasi binsinya.
Untuk klaster sektor Minerba misalnya, disamping mereka satu klister mereka juga satu subholding, adalah MIN ID yang akan membawahi semua BUMN yang berhubungan dengan Minerba.
“Tapi ada juga yang tidak di subholing seperti jasa keuangan. Seluruh jasa keuangan itu tidak dijadikan subholding. Kemudian juga, infrastruktur, BUMN Karya itu semua tidak di holdingkan meskipun mereka satu klaster,” ungkapnya.
Arya kembali melanjutkan, pihaknya memiliki beberapa strategi dalam melakukan pemetaan terhadap BUMN. Pertama, surplus creator, ini merupakan BUMN yang dapat menghasilkan deviden untuk pemerintah.
Selanjutnya, strategi value, disamping ekonomi mereka juga mempunyai pelayanan publik, seperti Pertamina, Telkom, Bank BRI, dan lainnya.
Kemudian, walfare creator, hal ini berhubungan dengan pelayanan publik, seperti Peruri, Damri, Bulog, Pupuk, Hutama Karya, PLN, dan lainnya.
Lalu Kementerian BUMN akan melakukan pemetaan kepada perusahaan yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak memiliki pelayanan publiknya. Kepada perusahaan tersebut nantinya Kementerian BUMN akan melakukan penghapuskan, kalau tidak bisa di mergerkan dan disatukan dengan perusahaan BUMN lain, karena sudah tidak punya nilai apapun.
“Untuk Peruri, Damri, Bulog, Pupuk, Hutama Karya, PLN, dan lainnya kita harapkan menjadi perusahaan pelayan publik,” katanya.
Rencana Sinergi BUMN
Arya mengungkapkan, kedepan ada yang holding dan subholding. Holding akan diarahkan pada pengelolaan pertofolio dan sinergi bisnis dalam BUMN. Sementara Subholding akan menjalankan peran untuk mendorong operasional BUMN melalui pengambangan dari sinergi masing-masing bisnis, meningkatkan kapabilitas bisnis exsisting.
Peruri, Damri, Bulog, Pupuk, Hutama Karya, PLN, kata Arya, diharapkan menjadi perusahaan pelayan publik kedepannya.
“Ini lagi berjalan dengan sangat cepat di Kementerian BUMN,” bebernya.
Diakui olehnya, sebenarnya pembentukkan Holding dan Subholding Migas telah direncanakan sejak tahun 2014. Hal tersebut ditandai dengan penandatanganan kajian Holding BUMN MIgas pada akhir 2017 yang dilanjutkan dengan integrasi PGN ke Subholding pada akhir 2018.
“Jadi, Subholding di Pertamina itu sudah dirancang jauh-jauh hari, tapi kita jadikan sekarang dengan cepat. Tujuannya yakni agar perusahaan dapat berkompetisi secara efektif melalui pengembangan kepebilitas dan formulasi strategi yang focus,” katanya tegas.
Kemudian, lanjut Arya, pengembangan budaya yang performance spesifik, juga menjadi tujuan lain pembentukan holding dan Subholding. Selanjutnya, penandaan berfokus pada risiko bisnis, bukan risiko konglomerasi, serta kemampuan mendapatkan investor jangka panjang yang berorientasi pada bisnis.
Pembentukkan beberapa Subholding Pertamina, seperti Subholding Upstream, Subholding Refinery dan Petrochemical; Subholding Cemmercial dan Trading; Subholding Gas; Subholding Power dan Renewable Energi; Subholding Shipping Coorporation.
Arya mengungkapkan lebih lanjut, tujuan Holding sendiri adalah untuk portofolio dan sinergi bisnis pertamina, mempercepat pengembangan bisnis baru dalam menjalankan program-program nasional,
Sementara tujuan Subholding adalah, supaya kecepatan mereka lebih eksisting, kemampuan fleksilitiasnya untuk kemitraan dan sebagainya, kalau di pertamina sendiri akan sangat sulit.
“Pertamina itu ibarat kapal induk besar dan membuat tidak fleksibel, makanya kita pecah menjadi subholding-subholding, ini dilakukan supaya pengembangan-pengembangan bisnis Pertamina adalah tujuan kita untuk optimalisasi bisnisnya,” ungkap Arya.
Ia mencontohkan, kedepan bisnis fosil akan ditinggalkan dan beralih ke industri baterai, dengan begitu akan ada perubahan pandangan kedepan bahwa energi fosil bukan lagi barang yang vital melainkan baterai yang menjadi vital.
“Pandangan ini menjadi tantangan kita bahwa bisnis itu tidak ada yang namanya stuck (diam), bisnis itu akan terus bergerak, seperti halnya sumber daya alam (Nikel). Kalau dulu nikel belum begitu dilirik orang, sekarang malah menjadi rebutan orang untuk diproduksi menjadi baterai,” urai Arya.
“Ini yang kita sebut fleksibilitas kita lebih kuat, dari pada kita menjadi kaku dan akhirnya tidak melihat bisnis kedepan,” tandas Arya Sinulingga memaparkan.
Dari penjelasan yang diberikan oleh Staf Khusus Menteri BUMN tersebut, Mamit menyimpulkan bahwa, pembentukan restrukturisasi tersebut karena Kementerian BUMN ini besar akhirnya dijadikan klasterisasi dan fungsi yang sama untuk lebih pada tahapan sinergi, seperti di sektor migas.
Pertamina yang sangat begitu besar seperti halnya kapal induk, dibutuhkan suatu perubahan atau restrukturisasi didalam tubuhnya, agar dapat meningkatkan lini bisnisnya.
“Selanjutnya, MIND ID yang telah membeli 20% saham PT Vale, dan ini merupakan suatu trobosan yang dilakukan Kementerian BUMN meningkatkan lini bisnisnya, sebab kedepan Nikel akan menjadi primadona untuk bahan baku Electrical Vehicle (EV),” katanya.