Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com– Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) menyuarakan sejumlah catatan kritis terhadap draft Rancangan Undang-Undang Migas usulan DPR RI yang sedang dibahas.
Dalam paparannya di Komisi XII DPR, Selasa (22/07/2025), Ketua Umum Aspermigas Mustiko Saleh menilai bahwa draf RUU tersebut belum memberikan jaminan kepastian hukum dan iklim investasi yang kondusif bagi sektor hulu minyak dan gas nasional.
Aspermigas menyoroti bahwa dalam draf tersebut, kuasa pertambangan sepenuhnya berada di tangan negara dan tidak dapat didelegasikan, bahkan kepada BUMN seperti Pertamina. Konsekuensinya, pemerintah berpotensi menjadi pelaku usaha sekaligus regulator—sebuah posisi yang dinilai rentan terhadap konflik kepentingan dan melemahkan iklim investasi.
5 Poin Kunci Sorotan Aspermigas:
- Struktur Usaha Hulu Tidak Fleksibel
Draf RUU hanya memungkinkan pelaku usaha hulu adalah badan usaha khusus milik negara. Ini dipandang bertentangan dengan semangat kerja sama investasi global yang berbasis kontrak, seperti Production Sharing Contract (PSC). - Bundling Kegiatan Hulu-Hilir Dinilai Tidak Efisien
Model usaha bundling dari eksplorasi hingga pemasaran dianggap menambah biaya dan menciptakan birokrasi yang tidak perlu. Aspermigas mendorong pemisahan antara kegiatan hulu dan hilir agar lebih kompetitif dan efisien. - Kekhawatiran Terkait Sovereign Risk dan Arbitrase
Jika pemerintah berposisi sebagai pelaku usaha langsung, maka jika terjadi sengketa internasional, keputusan arbitrase bisa berimplikasi langsung ke aset negara. Ini berbeda dengan jika BUMN (seperti Pertamina) yang menjadi pelaksana, di mana liabilitas lebih terbatas. - Daya Saing Fiskal Belum Terlihat
Draf RUU masih mengedepankan cost recovery dengan profit split rendah (hanya 10% bagi hasil minimum). Padahal, eksplorasi migas, khususnya di kawasan Indonesia Timur, membutuhkan insentif fiskal tinggi untuk menarik minat investor. - Standarisasi dan Kelembagaan Belum Optimal
Pengaturan teknis seperti DMO, harga gas domestik, dan peralatan migas belum sepenuhnya merujuk pada standar internasional. Selain itu, kejelasan peran antar lembaga pemerintah juga belum memadai.
Aspermigas: Investasi Hulu Perlu Kepastian, Bukan Kebingungan
Ketua Aspermigas menegaskan bahwa jika Indonesia ingin tetap kompetitif dalam perebutan investasi energi global, maka regulasi harus mengutamakan kepastian hukum, fleksibilitas model bisnis, dan daya saing fiskal.
“Investor migas melihat Indonesia bukan hanya dari potensi cadangan, tapi juga dari kejelasan aturan main. Bila aturan justru menambah sovereign risk dan tidak memberikan insentif yang cukup, investor akan memilih negara lain,” ujarnya.
Kesimpulan: UU Migas Baru Jangan Jadi Langkah Mundur
RUU Migas adalah momentum penting bagi Indonesia untuk memperbaiki tata kelola sektor energi. Namun, bila draf yang ada saat ini tidak mengakomodasi masukan dari pelaku usaha, maka potensi investasi justru bisa menjauh.
Aspermigas menegaskan bahwa negara tetap dapat menjaga kedaulatan energi tanpa harus menjadi pelaku usaha langsung. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa aturan yang ada bisa mendorong efisiensi, akuntabilitas, dan keberlanjutan investasi.